Made Gede Arthadana, S.H., M.H. (BP/Istimewa)

Oleh Made Gede Arthadana, S.H., M.H.

Kasepekang berasal dari kata “sepek” yang berarti mempermasalahkan di hadapan orang. Dalam Kamus Bali-Indonesia yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali disebutkan kata “sepek” berarti “kucilkan”, sedangkan Kasepekang sama dengan “dikucilkan”. Pengertian ini dapat ditemukan dalam Hasil Pasamuhan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) Provinsi Bali, 27 Februari 1997. Kasepekang berasal dari kata “sepi ikang” yang mempunyai arti “tidak diajak bicara” atau “dikucilkan”.

Pada kenyataannya menunjukkan bahwa setiap kali sanksi adat Kasepekang dijatuhkan selalu saja menuai kontroversi berkepanjangan. Penerapan sanksi ini dirasa belum dapat menyelesaikan masalah sehingga kerap memunculkan masalah baru. Jika merujuk pada Hasil Pasamuhan Agung II MDP Bali Tahun 2007, yang dituangkan dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor : 01/Kep/Psm- 2/MDP Bali/X/2007, Jumat 12 Oktober 2007 ditentukan bahwa “Penjatuhan sanksi adat Kasepekang dan Kanorayang dilarang sementara, sampai adanya rumusan yang memadai mengenai pengertian dan tata cara menjatuhkan sanksi adat tersebut, yang berlaku bagi semua desa pakraman di Bali”.

Berdasarkan Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan bahwa: (1). Sanksi adat Kasepekang atau istilah lain yang mengandung arti dan makna sama dengan pemberhentian sementara sebagai krama desa, dapat dikenakan berdasarkan paruman (rapat) banjara tau desa pakraman kepada krama desa yang terbukti secara meyakinkan membangkang (ngatuwel) terhadap awig- awig, pararem, dan kesepakatan banjar atau desa pakraman, setelah usaha penyelesaian melalui prajuru (kertha desa) yang dilakukan dianggap gagal, dan setelah beberapa sanksi lain yang juga dikenakan berdasarkan paruman tidak membuahkan hasil.

Sanksi lain yang dimaksud seperti: (a) peringatan lisan dan tertulis oleh prajuru (pimpinan) banjar atau desa pakraman; (b) arta danda (denda materi) berdasarkan awig-awig yang berlaku. (2). Selama dalam masa Kasepekang, yang bersangkutan tidak berhak mendapatkan panyanggran (pelayanan/bantuan) seluruh anggota banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak mendapatkan suaran kulkul, dalam segala aktivitas yang dilakukan di desa pakraman setempat, baik dalam suasana suka (syukuran), kasucian (upacara agama), kalayusekaran (kematian), maupun kapancabayan (tertimpa musibah). (3). Sanksi adat Kasepekang berlaku untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) paruman banjar atau paruman desa pakraman yang mengagendakan pembahasan perihal pengenaan sanksi kasepekang tersebut. (4). Apabila dalam masa 3 (tiga) paruman tersebut pihak yang dikenakan sanksi adat Kasepekang tidak memenuhi segala kewajiban yang dibebankan, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan (kanorayang) sebagai krama desa, dan tidak berhak menggunakan segala fasilitas milik desa pakraman, kecuali yang bersangkutan kembali menjadi krama desa, setelah memenuhi segala persyaratan sesuai dengan awig-awig yang berlaku. (5). Melarang pengenaan atau penjatuhan sanksi adat kanorayang atau istilah lain yang memiliki arti dan makna yang sama dengan pemberhentian penuh sebagai krama desa (warga desa), secara langsung sebelum tahapan-tahapan sanksi lain yang bersifat pembinaan diterapkan.

Baca juga:  Yadnya di Tengah Pandemi

Desa pakraman yang melaksanakan sanksi adat Kanorayang secara langsung, dianggap sebagai desa pakraman bermasalah. (6). Sementara itu, Adapun kewajiban terhadap krama desa yang dikenakan sanksi adat Kasepekang, yaitu berkewajiban mengadakan pendekatan kepada krama banjar dan krama desa yang lainnya melalui prajuru banjar dan/ atau prajuru desa pakraman secara terus menerus guna mengupayakan penyelesaian permasalahan yang dihadapi.

Kewajiban prajuru desa pakraman terkait sanksi adat Kasepekang untuk membina krama desa yang dikenakan sanksi adat Kasepekang agar bisa Kembali melaksanakan swadharma sebagai krama desa dan selanjutnya prajuru banjar dan/ atau prajuru desa pakraman tidak berhak merekomendasikan kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengurangi hak-hak administratif krama desa yang Kasepekang sebagai warga negara.

Krama desa yang dikenakan sanksi adat Kasepekang masih berhak untuk : 1) Memanfaatkan setra (kuburan) banjar atau desa pakraman untuk melaksanakan upacara penguburan/ pembakaran jenazah atau pitra yadnya tanpa panyanggran banjar dan atau desa pakraman; 2) Memanfaatkan tempat suci dan fasilitas lain milik banjar atau desa pakraman, seperti halnya krama desa lainnya dengan sepengetahuan prajuru banjar dan/ atau desa pakraman; 3) Memanfaatkan tempat suci untuk tujuan khusus, dilakukan atas seizin prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman dan dituntun oleh pamangku di tempat suci bersangkutan.

Sanksi adat Kasepekang akan berakhir atau dianggap selesai sesudah pihak yang dikenakan sanksi tersebut memenuhi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya dan ngaksamaang raga (meminta maaf) kepada krama banjar dan atau krama desa pakraman melalui prajuru banjar atau prajuru desa pakraman.

Baca juga:  Ini, Sanksi Adat Para Pelaku Pemerkosaan di Lodtunduh

Namun bagi krama desa yang dikenakan sanksi adat Kanorayang statusnya sama dengan warga yang bukan krama desa, sehingga tidak berhak menggunakan segala fasilitas banjar dan/ atau desa pakraman tanpa seizin prajuru banjar dan/atau prajuru desa pakraman. Kemudian krama desa yang dikenakan Kanorayang dapat Kembali menjadi krama desa setelah mengikuti persyaratan untuk menjadi krama desa baru (mawali tedun makrama) sesuai dengan awig-awig desa pakraman bersangkutan.

Dalam konteks sanksi adat, Kasepekang tersebut masih diakui keberadaannya sebagai krama (warga) namun dikucilkan dari berbagai aktivitas banjar adat atau desa adat. Berbeda halnya dengan Kanorayang yang artinya pipil-nya dikembalikan atau diberhentikan sebagai krama adat. Krama adat yang menerima sanksi kasepekang akan dikucilkan dalam arti tidak mendapat pelayanan dari desa. Sanksi adat Kasepekang dijatuhkan kepada pelaku yang melanggar kebijakan di desa adat, seperti: tidak pernah hadir selama rapat desa, melakukan penggelapan uang bantuan desa, dll.

Sanksi adat Kasepekang dan Kanorayang adalah dua hal yang berbeda, namun sering dikatakan sama karena diartikan keduanya dengan “kaeladang, kamenengang, tan polih arah-arahan, kagedongin, kapuikin gumi, kapuikin banjar, kapuikin desa atau tan polih suaran kulkul”. Krama adat yang dikenakan sanksi kanorayang memang tidak mendapat bantuan banjar (tan polih penyanggran banjar), tidak mendapat hak menggunakan kentongan (tan polih suaran kulkul), dan tidak mendapat pemberitahuan (tan polih arah-arahan). Namun melakukan persembahyangan ke pura milik desa adat masih diperbolehkan dengan melakukan pemberitahuan terlebih dahulu atau penyuakan/nyuwaka kepada prajuru desa adat.

Pasal 31 huruf f Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali menyatakan wewenang prajuru desa adat meliputi “menerapkan sanksi adat kepada krama yang sudah diputuskan melalui Paruman desa adat. Frase pada paruman desa adat tidak bisa dianggap hal “sepele” karena sudah melibatkan sepengetahuan dan persetujuan seluruh krama adat untuk dijatuhkannya sanksi adat kepada warga yang melakukan pelanggaran di banjar adat atau desa adat yang bersangkutan.

Baca juga:  Destinasi Wisata untuk Anak Pasca Covid-19

Penjatuhan sanksi adat Kasepekang dan Kanorayang oleh Desa Adat di Bali dikuatkan melalui Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

Hal mana dalam Buku Kesatu angka 4 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dijelaskan bahwa Dalam Undang-Undang ini diakui pula adanya Tindak Pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai Tindak Pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.

Dalam kenyataannya di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku Tindak Pidana. Hal tersebut mengandung arti bahwa standar nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi agar memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti itu tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Undang-Undang ini.

Sehingga, sanksi adat yang terbukti menjadi sorotan berbagai pihak karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan HAM sebaiknya ditinggalkan atau disesuaikan kembali sesuai dengan perkembangan zaman. Penegakan awig-awig tidak lagi bersikukuh pada text book dalam hal ini awig- awig atau kuna dresta (kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun), melainkan lebih berorientasi pada konteks, manfaat dan senantiasa memperhatikan norma agama Hindu.

Penulis, Akademisi Hukum Adat Universitas Hindu Indonesia

BAGIKAN