
Oleh Agung Kresna
Fenomena jumlah wisatawan mancanegara yang meningkat namun tingkat hunian akomodasi wisata justru menurun, masihnsaja terjadi di Bali (Bali Post, 24/03/2025).
Paradoks antara jumlah kunjungan wisatawan yang meningkat namun okupansi hotel justru menurun, ini dibenarkan Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati Ketua PHRI Bali.
Penurunan okupansi ini ditengarai mencapai angka 10 hingga 20 persen. Kondisi ini diduga akibat terjadinya kebocoran karena banyaknya villa-villa bodong yang tidak berizin dan kebanyakan dikelola oleh orang asing.
Sehingga keberadaan wisatawan ini tidak tercatat pada penginapan berizin yang berada dalam naungan PHRI Bali. Maraknya penginapan bodong alias tidak berizin yang hadir di Bali memang telah banyak dikeluhkan oleh para pelaku industri pariwisata Bali. Mereka mengeluhkan perlakuan yang tidak adil dari pemegang kebijakan.
Karena mereka yang berizin dan tergabung dalam asosiasi dikenakan
pajak, sementara akomodasi yang bodong lolos dari pengenaan pajak. Para pelaku industri pariwisata Bali menghendaki ada ketegasan dari pemerintah daerah Bali untuk melakukan penindakan –sesuai dengan peraturan yang ada- terhadap akomodasi pariwisata yang perizinan dan kepemilikannya tidak jelas.
Sehingga ada kesetaraan perlakuan terhadap semua pemilik akomodasi pariwisata/penginapan. Tidak ada salahnya jika kita belajar dari kasus pelanggaran legalitas PARQ Ubud beberapa waktu yang lalu.
Bagaimana mungkin akomodasi pariwisata dengan luasan yang tidak kecil dan jelas kasat mata, bisa beroperasi selama bertahun-tahun meski tanpa memiliki kelengkapan perizinan sesuai ketentuan yang ada.
Sisi gelap pariwisata memang acap kali menampilkan wajah abu-abu kelam industri pariwisata, di balik gemerlap pariwisata yang memang menjanjikan dampak ekonomi ikutan yang cukup panjang. Berbagai
efek sosial-budaya negatif juga acapkali berkelindan di sela beragam kegiatan pariwisata.
Para stakeholders pariwisata menyadari siituasi ini. Kegiatan pariwisata tidak boleh ditumpangi oleh free-rider yang menyelinap guna kepentingan mereka sendiri. Mereka menyaru sebagai wisatawan, namun mereka memiliki tujuan terselubung yang sering memunculkan wajah abu-abu pariwisata.
Dari para free-rider inilah muncul citra buruk pariwisata. Keberadaan wisatawan mancanegara yang tidak terdeteksi dalam kesehariannya -karena tinggal di penginapan bodong- juga membuka peluang hadirnya tindak kriminal mereka. Terungkapnya pabrik narkoba di wilayah Badung yang dilakukan oleh wisatawan mancanegara beberapa waktu lalu, membuktikan hal tersebut.
Kelengkapan perizinan bagi segala bentuk akomodasi pariwisata, menjadi pintu masuk untuk monitoring kemungkinan terjadinya tindak kriminal oleh penghuni penginapan tersebut. Sekaligus tentu juga
akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah wilayah tersebut, dengan tercatatnya segala aktivitas akomodasi pariwisatanya.
Meski demikian, pada sisi lain ada juga oknum pelaku industri pariwisata yang juga bertingkah seperti free-rider. Hal ini terlihat dari tidak sinkronnya data ketersediaan fasilitas akomodasi pariwisata. Pemangku kebijakan mencatat masih kurangnya jumlah kamar hotel, sementara pelaku industri pariwisata berteriak bahwa suplai kamar
sudah berlebih.
Situasi ini terjadi karena adanya oknum pelaku pariwisata pemilik akomodasi hotel yang nakal, dengan tidak melaporkan seluruh kamar yang dimilikinya. Hal ini dilakukannya untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkannya ke negara.
Akibatnya terjadi perbedaan data jumlah kamar hotel, antara pemerintah dengan pelaku industri pariwisata. Paradoks pariwisata Bali ini harus diselesaikan pada akar permasalahannya. Yaitu dengan menertibkan akomodasi/penginapan tang tidak berizin lengkap.
Kita tidak bisa melarang wisatawan untuk tidak menginap di akomodasi bodong. Cara ini bagaikan kita melarang konsumen membeli petasan, namun pabrik/produsen petasan tidak ditertibkan.
Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar