John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Di era serba digital ini, manusia semakin terjebak dalam rutinitas komunikasi virtual yang cenderung mengabaikan sisi emosional. Sebagian besar interaksi sehari-hari, seperti pesan teks, e-mail, atau video conference, kini terjadi melalui layar.

Padahal, terdapat aspek penting yang khas sebagai keunggulan manusia, yakni Kecerdasan Emosional (KE) tak boleh terabaikan, sekalipun manusia hidup di era perkembangan teknologi yang begitu pesat. Mengapa kecerdasan emosional semakin penting di era penuh distraksi ini?

Kecerdasan Emosional (emotional intelligence) itu dipahami sebagai kemampuan untuk mengenal, memahami, dan mengelola emosi kita sendiri, sehingga kita dapat mengakui, memahami, dan memengaruhi emosi orang lain. Teori mengenai KE, yang alias emotional quotient itu dapat kita telusuri hingga awal tahun 1930-an, dalam karya Edward Thorndike, seorang ahli psikologi Amerika, yang pertama kali mengenalkan konsep “social intelligence” sebagai kemampuan untuk bergaul dengan orang lain.

Kemudian pada tahun 1940-an, David Wechsler yang terkenal dengan IQ and Intelligence Assessment-nya mengenalkan konsep tentang berbagai komponen kecerdasan manusia untuk yang menjelaskan kesuksesan seseorang di dalam hidup. Baru pada tahun 1950 Abraham Maslow pencipta piramida kebutuhan manusia, mengenalkan cara membentuk kekuatan emosional.

Baca juga:  Wisata Medis dan Penyelamatan Devisa

Howard Gardner pada tahun 1970-an mengenalkan gagasan tentang kecerdasan manusia sebagai kemampuan multidimensional, yakni hal yang bertentangan dengan anggapan sebelumnya bahwa kecerdasan manusia itu merupakan kemampuan umum tunggal (single general ability).

Istilah KE pertama kali digunakan pada tahun 1985, dalam disertasi doktor Wayne Payne. Selain itu, dalam sebuah artikel di Majalah Mensa, yang dipublikasikan pada 1987, Dr. Keith Beasley dari Universitas Bristol menggunakan istilah “emotional quotient”. Istilah KE kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman, pada 1995 dalam bukunya, “Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ”.

Semakin Relevan

Di era digital ini, KE menjadi semakin relevan karena sifat dasar komunikasi dan interaksi manusia yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya teknologi dan berbagai wahana digital telah mentransformasi cara kita berhubungan dengan orang lain.

Baca juga:  Merdeka dari “Overtourism”

Maka penting kiranya untuk memahami dan mengelola emosi kita sendiri secara lebih efektif dalam lingkup virtual. Menurut hemat penulis, kelima poin kunci berikut ini dapat membantu kita untuk memahami pentingnya KE di era digital ini.

Pertama, memanfaatkan tantangan komunikasi virtual. Komunikasi digital seringkali mengalami kekurangan isyarat non-verbal seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan nada suara, yakni hal-hal yang penting dalam penyampaian emosi. Kekurangan bawaan ini dapat mengakibatkan salah paham dan perasaan terputus antara komunikator dan komunikan.

Kedua, meningkatkan hubungan dalam konteks digital. KE berperan penting dalam mempertahankan hubungan-hubungan yang menggunakan saluran digital. Dengan melakukan kegiatan mendengar aktif, empati, komunikasi yang jelas, dan kehadiran yang mindful selama melakukan interaksi virtual, kita dapat mengembangkan hubungan-hubungan yang tulus meskipun berjarak.

Ketiga, kepentingan bagi kepemimpinan dan dinamika tim. Dalam seting profesional, para pemimpin dengan KE yang tinggi dapat menginspirasi tim-tim kerja mereka dengan mengenali emosi-emosi pribadi untuk memberikan tanggapan empatik. Keempat, beradaptasi terhadap perubahan gaya komunikasi.

Baca juga:  Pendidikan Berbasis Masyarakat

Ketika komunikasi digital terus berkembang dengan menggunakan berbagai teknolgi baru, seperti platform media sosial atau aplikasi pesan, maka upaya menyesuaikan tingat KE menjadi penting dalam rangka membangun komunikasi yang efektif. Kelima, membangun hubungan-hubungan yang tulus. Dalam rangka memelihara pelbagai hubungan online yang jujur dan otentik, kita perlu fokus kepada sentuhan-sentuhan pribadi di dalam komunikasi.

Dari ulasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa, KE bukan hanya merupakan aset melainkan sebuah kebutuhan di era digital ini. KE menyanggupkan kita untuk mempertahankan hubungan yang manusiawi di tengah pesatnya kemajuan teknologi. Karena KE akan mendorong pemahaman, kesadaran diri (self awareness), keterampilan sosial  (social skill), dan empati dalam rangka merangkul kehidupan yang lebih produktif dan tenang.

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN