
DENPASAR, BALIPOST.com – Di tengah menurunnya daya beli masyarakat karena harga pangan, umat Hindu diajak memaknai Hari Suci Galungan tak sekadar seremoni.
Sebab, menurut pengamat budaya I Nyoman Surpa Adisastra, S.H.H, M.Ag., Galungan memiliki makna filosofis yang mendalam, baik dalam konteks budaya, agama, maupun kehidupan sosial masyarakat agraris Bali.
Menurut Dosen Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa ini, Galungan dalam budaya agraris Bali tak lepas dari keberhasilan panen yang kemudian diwujudkan dalam bentuk simbolik melalui penjor.
Penjor yang dihiasi pala bungkah (umbi-umbian) dan pala gantung (buah-buahan) merepresentasikan kemakmuran hasil bumi, sekaligus simbol Naga Basuki sebagai lambang kesejahteraan.
“Makna Galungan secara agama adalah kemenangan dharma atas adharma. Tapi jika kita tarik dari sisi adat dan budaya, Galungan merupakan wujud rasa syukur atas hasil pertanian,” ungkapnya.
Adisastra juga mengajak masyarakat untuk tidak sekadar memaknai Galungan sebagai perayaan simbolik semata.
Ia menyoroti tantangan besar yang dihadapi Bali saat ini, seperti pencemaran lingkungan, alih fungsi lahan, dan krisis agraria.
Menurutnya, makna kemenangan dalam Galungan harus dievaluasi kembali.
“Pertanyaannya, apakah kita sebagai masyarakat Hindu sudah benar-benar menang dalam menjalankan dharma? Ini perlu kajian mendalam. Tradisi harus dikaji secara realistis dan logis, lalu diimplementasikan dalam kehidupan nyata,” ujarnya.
Ia juga menyoroti ketergantungan masyarakat pada pasar dalam pemenuhan sarana upakara.
Harga sarana seperti janur, buah, bahkan kelapa daksina kerap melonjak jelang Galungan.
Hal ini, menurutnya, menjadi indikator bahwa masyarakat mulai meninggalkan semangat produksi agraris.
“Kita lebih sering membeli daripada menanam. Padahal dengan kemauan dan teknologi, masyarakat bisa mulai kembali bertani, meski di lahan terbatas. Tanam buah dalam pot atau pertanian urban bisa jadi solusi,” ujarnya.
Untuk menjaga eksistensi nilai-nilai Galungan, Adisastra menekankan pentingnya menjalankan swadharma atau kewajiban individu.
Menurutnya, kemenangan sejati hanya bisa diraih dengan perjuangan yang nyata, bukan sekadar seremoni semu.
“Jangan sampai kita hanya merayakan kemenangan palsu. Kalau kita tidak berjuang, bagaimana bisa memahami makna kemenangan itu sendiri?” tanyanya.
Di tengah modernisasi dan dinamika masyarakat saat ini, Adisastra mengajak generasi muda untuk tetap menggali dan memahami makna tradisi. Ia meyakini bahwa pelestarian tradisi tidak hanya lewat ritual, tapi juga lewat penguatan makna dan tindakan nyata.
“Leluhur kita mewariskan tradisi yang luar biasa. Ini bukan hanya identitas, tapi juga potensi ekonomi, pariwisata, dan sosial. Kita perlu menjaga ini bukan hanya karena kewajiban, tapi sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur,” tutupnya. (Wahyu Widya/balipost)