Ni Luh Gede Yastini. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPAD) Bali, Ni Luh Gede Yastini menanggapi kasus ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) tak bisa membaca di Kabupaten Buleleng.

Kasus ini sudah menjadi sorotan nasional sebab jumlah siswa yang tak bisa membaca sentuh mencapai 364 siswa.

Ia menilai kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan perlu ditindaklanjuti dengan langkah konkret. “Kondisi ini memang sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan kita karena angka yang diberitakan juga cukup tinggi, namun demikian kami berharap agar dilakukan assessment lebih dalam terkait kondisi ini,” ujarnya, Senin (21/4).

Gede Yastini menekankan pentingnya pendalaman lebih lanjut terhadap faktor-faktor penyebab ketidakmampuan membaca pada anak-anak tersebut. Sebab, tanpa pemetaan masalah yang jelas, intervensi atau solusi yang diberikan bisa saja tidak tepat sasaran.

Ia menggarisbawahi bahwa ada 3 aspek utama yang harus diperhatikan dalam penanganan kasus tersebut.

Baca juga:  Sapi di Pasar Hewan Beringkit Nikmati Layanan Kesehatan Gratis

Pertama, kondisi anak termasuk kemampuan baca tulis dan hal-hal yang mungkin menjadi hambatan seperti faktor psikologis.

Kedua, lingkungan keluarga yang semestinya berperan besar dalam mendukung pembelajaran anak.

Dan ketiga, peran sekolah dalam memastikan akses pendidikan yang berkualitas bagi semua siswa.

Terkait kondisi anak, dijelaskan bahwa S ejauh mana kemampuan baca tulisnya termasuk kondisi yang menghambat anak, misalnya kondisi psikologis atau ada hal lain.

Kondisi keluarga juga sangat penting sebagai bagian yang harus dapat mendukung anak dalam pembelajaran dan memberikan motivasi bagi anak.

Kemudian yang ketiga adalah lingkungan sekolah. Bagaimana komitmen sekolah dalam memberikan perhatian kepada anak memberikan pendidikan berkualitas pada semua anak.

Diketahui, kondisi ini mencuat usai adanya laporan yang menyebutkan ratusan siswa di sejumlah SMP di Buleleng tidak dapat membaca secara lancar.

Baca juga:  Prihatin dengan Musibah Kapal Jatuh

Dugaan sementara mengarah pada dampak pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 yang menyebabkan terkendalanya akses dan kualitas pendidikan di daerah.

“Kami sejauh ini fokus pada anak putus sekolah dan kalau laporan belum pernah ada laporan kasus anak tidak bisa membaca ke KPAD. Makanya belajar dari kasus ini, ke depan kami akan koordinasi juga terkait hal ini dengan dinas pendidikan kabupaten/kota,” tandasnya.

Selain anak SMP yang tak bisa membaca tersebut, KPAD Bali juga menemukan siswa yang putus sekolah. Meskipun data anak putus sekolah di Bali masih belum maksimal terhitung, karena ada dinas yang menyebutkan tidak ada putus sekolah.

Padahal di situ ada perkawinan usia anak. Kemudian juga anak hamil yang tidak diharapkan otomatis akan putus sekolah. Dan itu tidak mendapatkan perhatian oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

Baca juga:  Lomba Cerdas Cermat Bulan Bung Karno, Koster Bangga Peserta Paham ”Nangun Sat Kerthi Loka Bali”

Terjadinya putus sekolah ini harus dilihat juga dari hulunya. Diungkapkan, anak putus sekolah ini banyak terjadi di Kabupaten Karangasem.

Bahkan KPAD Bali sempat bersinergisitas untuk melakukan penelitian dengan Fakultas Kedokteran yang meneliti tentang aspek kesehatan anak dan masyarakat.

“Begitu dilakukan penelitian ditemukan anak putus sekolah sampai di atas 200 agak terfokus satu desa. Dan desa itu memang terkenal dengan kondisi sosial ekonomi yang ya cukup parah lah. Dan itu faktornya juga kompleks,” imbuhnya.

Desa tersebut adalah Desa Munti, Karangasem. Kebanyakan data yang didapat merupakan anak yang putus sekolah di tengah jalan. Sementara yang lainnya terdapat data tidak tercatat diantaranya anak selesai sekolah setelah SD tidak tercatat serta anak usia sekolah tidak sekolah. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN