I Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. (BP/kmb)

Oleh  Kadek Suartaya

Dalam mitologi Bali, Mayadanawa dikenal sebagai raja angkara murka dari Bedahulu yang menolak Tuhan, menghancurkan tempat suci, melarang rakyatnya beribadah, dan bahkan menantang para dewa.

Ia menyatakan diri sebagai dewa, menjadikan kekuasaan sebagai alat penindasan spiritual. Kisah ini bukan semata legenda, melainkan refleksi universal tentang kuasa yang kehilangan etika dan nilai kemanusiaan.

Sebagai tokoh yang disebut keturunan Jayapangus, kisah Mayadanawa memadukan unsur sejarah, mitos, dan simbolisme kekuasaan. Dalam struktur budaya Bali, ia menjadi alegori dari kuasa yang menindas keberagaman dan kebebasan keyakinan. Ia bukan hanya antagonis mitologis, melainkan gambaran nyata dari intoleransi yang bisa muncul dalam wajah kekuasaan di berbagai zaman.

Kisah Mayadanawa telah hidup lama dalam seni pertunjukan Bali. Ia hadir dalam Topeng, Drama Gong, hingga Sendratari. Tahun 1959, seniman Denpasar mengangkat lakon ini sebagai respons terhadap ketegangan sosial.

Pascatragedi 1965, kisah ini menjadi terapi kolektif melalui panggung Drama Gong. Mayadanawa menjadi simbol pemulihan batin masyarakat Bali yang sempat tercerai-berai akibat trauma politik. Tahun 1966, maestro karawitan dan tari I Wayan Beratha mencipta Sendratari Mayadanawa, dibawakan siswa Konservatori Karawitan (Kokar) Bali.

Karya ini disambut antusias, memperlihatkan bahwa seni tak hanya merawat budaya, tetapi juga membangun jembatan nilai antar generasi. Seni menjadi ruang edukasi dan refleksi moral. Ia tidak hanya menghibur, tetapi menyentuh dan menggugah.

Baca juga:  Kapolresta: Preman Saja Kita Rantai Apalagi Perusuh

Kisah ini juga hadir dalam sastra klasik Bali berupa gaguritan yang dilantunkan dalam pesantian. Bahkan lagu pop Bali seperti “Galungan Ring Bali” menyuarakan kembali semangat kisah ini dalam format populer.

Di platform digital seperti YouTube, warisan narasi Mayadanawa tetap hidup dan ditransmisikan ulang oleh generasi muda. Namun, kekuatan utama dari kisah ini bukan sekadar pada dramatisasinya, tetapi pada pesannya yang tetap relevan. Mayadanawa adalah simbol kekuasaan yang intoleran terhadap pluralitas dan kebebasan berkeyakinan. Ia mencerminkan ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi dan kebangsaan ketika perbedaan dianggap sebagai ancaman, bukan kekayaan.

Kita menyaksikan bahwa pesan ini semakin penting di era kini. Isu penistaan agama kerap dijadikan alat politik. Fanatisme tumbuh subur di ruang publik, membungkam perbedaan, dan mengerdilkan ruang dialog. Dunia maya dipenuhi oleh ujaran kebencian, hoaks, dan narasi keagamaan yang dimonopoli oleh tafsir sempit.

Fenomena “Mayadanawa-Maya” kini menjelma dalam wujud baru: akun anonim, meme provokatif, ujaran provokatif, dan manipulasi identitas agama untuk menebar ketakutan. Internet menjadi ladang subversi spiritual, tempat di mana agama menjadi alat provokasi, bukan jalan pencerahan. Ketika iman diperalat, kebenaran menjadi semu.

Di sinilah relevansi kisah Mayadanawa menjadi nyata. Ia mengajak kita bercermin: dalam kehidupan berbangsa, apakah kita sedang menjadi Indra sang penjaga dharma, atau malah menjadi Mayadanawa yang menindas keyakinan lain? Toleransi bukan sekadar wacana, melainkan harus menjadi praktik dalam tindakan nyata—dalam kebijakan, pendidikan, media, dan interaksi sosial.

Baca juga:  Kegagalan Pahami Toleransi Munculkan Radikalisme dan Kekerasan

Perayaan Galungan yang berakar pada kisah ini seharusnya tidak hanya menjadi ritual seremonial. Kemenangan dharma atas adharma harus diwujudkan dalam upaya menjaga kedamaian antarpemeluk agama, membela hak minoritas, serta menolak kekerasan atas nama Tuhan. Ini adalah bentuk dharma dalam konteks kebangsaan Indonesia.

Mayadanawa yang menyatakan diri sebagai dewa dan melarang rakyatnya beribadah, sejatinya telah memutus hubungan spiritual manusia dengan semesta. Kekalahannya oleh Dewa Indra adalah simbol runtuhnya ego dan kekuasaan tiranik. Ia bukan hanya kisah tentang sakti-menyakti, melainkan tentang kesombongan yang kalah oleh kesucian dan keikhlasan.

Lakon ini menyampaikan bahwa kehancuran tidak disebabkan oleh perbedaan iman, tetapi oleh keinginan meniadakan iman orang lain. Dalam dunia yang semakin plural, kita dituntut untuk merawat keberagaman sebagai kekuatan bersama. Toleransi tak cukup disuarakan, ia harus dirawat dan dilatih dalam tindakan sehari-hari.

Jagat kesenian Bali telah membuktikan bahwa luka sejarah dapat diolah menjadi cahaya moral. Dari mitos menjadi filosofi hidup, dari panggung menjadi ruang renungan. Kisah Mayadanawa menandai bahwa seni dapat menjadi wahana menyampaikan pesan kemanusiaan di tengah zaman yang kian keras dan kaku terhadap perbedaan.

Baca juga:  Nyepi Bersamaan dengan Awal Puasa, Diimbau Toleransi Tetap Dijaga

Hari ini, musuh kita bukan raja purba yang menghancurkan pura, tapi intoleransi yang menyusup dalam kebijakan diskriminatif, ujaran kebencian, dan politik identitas. Kita membutuhkan kembali semangat Galungan: menegakkan kebenaran dengan cinta kasih, membela perbedaan tanpa kemarahan. Galungan adalah panggilan untuk memperkuat persaudaraan, bukan memperlebar jurang.

Seperti diingatkan Martin Luther King Jr., “Jika kita tidak hidup sebagai saudara, kita akan binasa sebagai musuh.” Dalam rumah besar bernama Indonesia, kita harus memilih menjadi pelindung harmoni atau pembakar nilai-nilai kebangsaan. Jangan sampai kita menjadi pewaris Mayadanawa hanya karena kita tidak sepakat pada warna doa yang berbeda.

Mungkin hari ini Mayadanawa hadir sebagai algoritma media sosial yang menyebarkan bias, sebagai elite yang mengeksploitasi sentimen agama, atau sebagai narasi yang menolak diskusi lintas iman. Dalam wujud apa pun, kita harus mampu mengenalinya dan melawannya dengan kebijaksanaan, bukan kebencian.

Dan jika ada satu pelajaran penting dari kisah ini, maka itu adalah bahwa agama, tanpa cinta dan kemanusiaan, hanya akan menjadi alat pemecah belah. Namun selama seni, budaya, dan nurani masih menyala, kita masih memiliki harapan menjaga bangsa ini tetap waras, damai, dan utuh.

Penulis, pemerhati seni budaya, dosen ISI Bali.

BAGIKAN