
DENPASAR, BALIPOST.com – Pengamat pariwisata dari Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Made Suniastha Amerta, S.S., M.Par.,CPOD., mengatakan adanya fenomena vila dan homestay ilegal dan maraknya kos-kosan elite di Bali, yang disewakan ke wisatawan asing (wisman), menunjukkan adanya pergeseran pola akomodasi wisatawan yang cukup signifikan.
Hal ini terjadi, terutama dilakukan oleh wisatawan yang tinggal lebih lama (long stay tourists) atau mereka yang mencari pengalaman lebih privat dan fleksibel, memilih opsi ini dibandingkan tinggal di hotel berbintang.
Kondisi ini tentu berdampak terhadap okupansi kamar hotel di Bali. Bahkan terjadinya penurunan tingkat hunian hotel, terutama di segmen hotel berbintang menengah dan atas. Banyak hotel berbintang mengalami persaingan tidak sehat karena vila ilegal dan kos-kosan ini menawarkan harga lebih murah atau pengalaman lebih personal tanpa beban biaya operasional dan regulasi resmi seperti hotel.
Dampak lainnya terjadi perpindahan pasar, khususnya di kawasan seperti Canggu, Uluwatu, dan Ubud. Di mana wisman muda lebih memilih tinggal di vila privat atau kos mewah ketimbang hotel tradisional. Hal ini juga memunculkan adanya tekanan pada harga hotel (price war), karena untuk bersaing hotel harus menurunkan tarif atau menawarkan lebih banyak promosi, yang dalam jangka panjang menekan profitabilitas.
Suniastha mengatakan bahwa hal ini berdampak terhadap penurunan potensi penerimaan PHR. Karena vila ilegal dan kos-kosan ini umumnya tidak membayar pajak sebagaimana hotel resmi, banyak transaksi akomodasi yang terjadi di “bawah radar” sehingga tidak tercatat dalam perhitungan pajak. Bali yang mengandalkan PHR sebagai salah satu sumber utama pendapatan daerah tentu akan sangat terdampak. Berkurangnya penerimaan PHR berarti berkurangnya dana untuk infrastruktur, layanan publik, promosi pariwisata, dan lain-lain.
Sementara itu, pelaku usaha hotel resmi merasa dirugikan karena mereka harus memenuhi berbagai kewajiban pajak, izin, dan standar pelayanan. Sedangkan, akomodasi ilegal bebas dari beban tersebut.
“Jika tren ini dibiarkan tanpa penertiban, Bali bisa mengalami penurunan kualitas pariwisata dan kehilangan pendapatan daerah yang seharusnya bisa digunakan untuk menunjang pembangunan. Perlu ada penertiban, regulasi yang lebih ketat, dan pengawasan lebih efektif terhadap operasional vila, homestay, dan kos-kosan yang digunakan sebagai akomodasi wisatawan,” ujarnya.
Pihaknya pun menyarankan beberapa langkah strategis yang bisa diambil pemerintah daerah untuk mengatasi maraknya vila, homestay ilegal, dan kos-kosan elite di Bali. Pertama, melakukan inventarisasi dan pendataan ulang dengan audit menyeluruh terhadap semua properti sewa jangka pendek, pemanfaatan teknologi seperti GIS (Geographic Information System) untuk memetakan seluruh vila, homestay, dan kos-kosan yang berpotensi dijadikan akomodasi wisata; dan bekerjasama dengan platform online (Airbnb, Booking.com, dll) untuk mengidentifikasi unit yang dipasarkan tanpa izin.
Kedua, pengetatan perizinan dan legalitas dilakukan dengan cara mempermudah proses legalisasi vila dan homestay dengan sistem online terintegrasi, tetapi tetap tegas terhadap mereka yang tidak mau mengurus izin; memberlakukan sanksi tegas berupa denda, penutupan usaha, hingga blacklist untuk unit yang tetap beroperasi tanpa izin; memberlakukan standardisasi minimum untuk akomodasi wisata, sehingga homestay dan kos-kosan elit harus memenuhi persyaratan keamanan, kenyamanan, dan kebersihan.
Ketiga, optimalisasi pajak dan retribusi demgam cara mewajibkan registrasi untuk seluruh akomodasi jangka pendek; pungut PHR dari vila, homestay, dan kos-kosan elite dengan sistem self-assessment berbasis digital, dan lakukan audit berkala; membuat program amnesti pajak untuk mendorong akomodasi ilegal yang mau melegalkan diri agar membayar pajak tanpa dikenakan denda berat di awal.
Keempat, kolaborasi stakeholder dengan melibatkan asosiasi hotel, asosiasi vila, dan platform online untuk memantau operasional; kerjasama dengan desa adat dan pecalang untuk pengawasan di tingkat lokal, karena mereka lebih mengenal daerahnya; kampanye kesadaran kepada pemilik properti tentang pentingnya mematuhi regulasi dan kontribusi terhadap Bali.
Kelima, pemanfaatan teknologi digital dengan membuat portal publik untuk melaporkan akomodasi ilegal secara anonym; menggunakan data big data dan AI untuk menganalisis transaksi akomodasi online yang mencurigakan; menterapkan e-tax system yang real-time untuk akomodasi legal agar semua transaksi transparan.
Keenam, edukasi wisatawan dapat dilakukan dengan mengadakan sosialisasi kepada wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, untuk memilih akomodasi bersertifikat resmi; dan memberikan incentive seperti diskon atau voucher bagi wisatawan yang menginap di akomodasi legal.
“Dalam konteks ini, pemerintah tidak harus langsung memberikan punishment keras tetapi bisa dibuatkan dua jalur, yaitu jalur pembinaan untuk yang mau kooperatif dan jalur penindakan untuk yang tetap membandel. Dengan pendekatan ini, resistensi sosial bisa diminimalisir, sambil tetap mengamankan pendapatan daerah,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)