Oleh Ridwan Nanda Mulyana
Tanggal 21 Februari, publik dunia –tak terkecuali publik tanah air–, memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII). Secara resmi pertama kali diperingati pada tahun 2000 sebagai HBII, yang memiliki arti dan posisi yang strategis dalam kerangka pelestarian Bahasa Ibu yang terancam tergerus oleh kemajuan jaman, globalisasi, dan tren “bahasa masa kini” yang semakin meminggirkan, bahkan terancam membuat punah bahasa daerah.
Berdasarkan hasil identifikasi Badan Bahasa Kemendikbud, di Indonesia ada 617 bahasa yang telah diidentifikasi dan sebanyak 319 bahasa daerah dinyatakan berstatus terancam punah serta 15 bahasa dinyatakan punah. Adanya kepunahan atau ancaman kepunahan bahasa daerah tentu disebabkan oleh faktor yang tidak tunggal.
Dari ketidaktunggalan faktor tersebut, ada dua poin yang sangat penting dan menentukan bagi keberlangsungan suatu bahasa, yaitu faktor jumlah penutur dan pendidikan. Terkait jumlah penutur, tercatat bahwa hanya 13 bahasa di Nusantara yang penuturnya di atas satu juta jiwa, yaitu: Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Batak, Bali, Bugis, Aceh, Betawi, Sasak, Makassar, Lampung, Rejang.
Semakin kurangnya jumlah penutur ini pun disebabkan oleh beragam faktor, diantaranya bisa dari pengurangan jumlah penduduk (seperti akibat bencana); perkawinan lintas etnis (yang berakibat adanya pengalihan bahasa menjadi hanya menggunakan bahasa nasional, khususnya untuk anak-anaknya); hingga persoalan pendidikan. Dalam hal yang terakhir disebut ini, seringkali terjadi, sekolah hanya asik menggunakan bahasa nasional dan asing, namun lupa untuk mensosialisasikan bahasa daerah setempat.
Padahal, sosialisasi (edukasi) bahasa daerah terhadap anak-anak (baik di sekolah, apalagi di rumah) sangat lah penting dan menentukan keberlangsungan bahasa. Karena anak-anak adalah masa depan atau “penentu nasib”, akan punah atau eksisnya suatu bahasa.
Dengan kata lain, dapat kita sebutkan bahwa edukasi dan sosialisasi (pembiasaan) dalam menggunakan bahasa daerah mesti lah ditingkatkan, apabila kita tidak ingin menjadikan bahasa daerah hanya sebagai “fosil kebudayaan”. Dalam konteks pendidikan dan pelestarian bahasa daerah, orientasi pembelajaran memang mesti diubah, dari yang hanya berorientasi pada nilai atau hanya untuk lulus ujian, harus berorientasi pada pelestarian bahasa daerah agar tidak punah, yang artinya mesti ada pendalaman dan pembiasaan!
Sayangnya, selain persoalan bahasa daerah yang minim diajarkan di sekolah, tren dalam masyarakat kita sekarang, khususnya generasi muda (apalagi di wilayah perkotaan), cenderung enggan untuk membiasakan, apalagi mendalami perihal bahasa daerah. Entah karena faktor gengsi (menganggap ketinggalan jaman jika memakai bahasa daerah, dan sebaliknya, merasa lebih “elite” apabila memakai bahasa nasional atau asing), atau karena faktor teknis (penguasaan bahasa daerah yang lemah, dan dirasa lebih “aman” menggunakan bahasa nasional), menjadikan kita seolah-olah terperangkap untuk menggeser bahasa daerah dan menggantikannya dengan bahasa nasional. Padahal, visi dari para pendiri negeri jelas tidak seperti itu!
Dalam arti bahwa, adanya bahasa nasional (Bahasa Indonesia) yang digunakan sebagai bahasa persatuan, bukan lah dimaksudkan untuk “mengalahkan” atau menggantikan bahasa daerah, melainkan sebagai “pendamping” bahasa daerah, dimana bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa akan tetap lestari, dan bahasa nasional digunakan untuk meniadakan sekat-sekat komunikasi, karena dengan ke-bhinneka-an yang kaya di Indonesia, orang-orang dengan etnis yang berbeda akan sulit untuk berinteraksi apabila ada kendala bahasa yang tidak dimengerti satu sama lain. Untuk itu lah ada bahasa nasional: Bahasa Persatuan, untuk menghubungkan sesama anak bangsa, tanpa dibatasi oleh perbedaan etnis, budaya, dan bahasa.
Penting untuk ditegaskan bahwa Bahasa Indonesia bukan lah untuk “gaya-gayaan”, penentu status atau gengsi, dan pada gilirannya meminggirkan bahasa daerah. Terlebih, di era globalisasi yang serba bebas dan terbuka seperti saat ini, “serbuan” bahasa asing pun dapat secara nyata mengancam eksistensi bahasa lokal (dan nasional) apabila tidak disikapi atau tidak dikelola secara bijak. Karenanya, menurut hemat penulis, yang mesti kita sadari saat ini adalah ketika bahasa sengaja digeserkan, bukan lagi sebagai identitas, namun sebagai “komoditas”, di tengah era kapitalisme seperti saat ini.
Di sini penulis ingin mengatakan bahwa, dengan “mental pasar” seperti saat ini, bahasa terlihat telah dikapitalisasi sedemikian rupa, seolah-olah bahasa adalah pengukur “gengsi” atau “kelas”. Apabila ingin terlihat intelektual, maka harus menggunakan istilah/bahasa asing (terutama Inggris), sedangkan apabila menggunakan bahasa nasional, dianggap “standar”, dan apabila menggunakan bahasa daerah dinilai “tertinggal”. Nah, bahasa yang digunakan sebagai “komoditas” pengukur “kelas” ini lah yang pada gilirannya menjadikan bahasa saling “bersaing”, bukannya saling menjadi “pendamping” satu sama lain.
Pada taraf ini, bahasa yang dianggap sebagai alat untuk menaikkan “kelas” akan “laku” untuk dipelajari dan dibiasakan, sedangkan bahasa yang dianggap “biasa-biasa saja” akan cenderung ditinggalkan. Padahal, dalam bahasa daerah, terkandung nilai-nilai positif yang mendukung kebudayaan dan karakter bangsa, khususnya tentang tatakrama (etika dan moral) yang begitu kaya terkandung dalam bahasa daerah.
Lewat tulisan singkat ini, penulis ingin mengingatkan kita semua agar tidak terjebak dalam “kapitalisasi” bahasa, yang diakui dan disadari atau tidak, dapat menumbuhkan suatu bahasa (khususnya bahasa asing), namun di sisi lain dapat secara perlahan mematikan bahasa lokal, bahkan bahasa nasional!
Penulis mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Undip.