SINGARAJA, BALIPOST.com – Lahan pembuatan garam tradisional di Deaa Les, Kecamatan Tejakula, belakangan ini semakin menyempit. Ini terjadi karena derasnya gerusan ombak hingga memicu abrasi parah. Akibatnya, warga yang berprofesi sebagai pembuat garam kini kesulitan lahan hingga produktifitas garam di Bukeleng menjadi minim.
Pembuatan garam tradisional di Desa Les ada sejak bertahun-tahun silam. Lahan pembuatan garam ini ada yang lahan pribadi dan juga ada yang merupakan tanah negara (TN-red). Sejak, lama lahan itu mulai menyempit karena tergerus gelombang laut. Bahkan, pada musim cuaca ekstrim seperti beberapa waktu lalu, gelombang laut menggerus tanah dengan ganas. Para pembuat garam terpaksa menutup usaha mereka. Tak heran, produksi garam apada musim cuaca buruk menurun drastis.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Ni Made Arnika Rabu (8/3) mengatakan, penyempitan lahan pembuatan garam tradisional ini tidak bisa dihindari. Apalagi, pinggir pantai yang dijadikan tempat pembuatan garam belum dipasangi beton pengaman pantai. Atas kondisi ini, ombak pasang dengan mudah menggerua tanah hingga mematikan usaha pembuatan garam di daerahnya.
“Yang jelas penyempitan lahan pembuatan garam namun secara pasti belum ada data pasti luasan lahan yang tergerus itu,” katanya.
Di sisi lain Arnika mengatakan, di tengah kesulitan lahan, pemerintah daerah tetap melakukan upaya pembinaan agar pembuat garam tidak meninggalkan profesi yang sudah ada sejak turun temurun itu. Selain itu untuk meningkatkan produktifitas pembuat garam di Buleleng timur itu tahun 2016 mendapat bantuan peralatan pembuatan garam dari Kementrian Perikanan dan Kelautan (KKP) RI.
Alat ini bisa disebut dengan istilah Geo Isolator. Dengan bantuan alat ini, masyarakat yang tergabung dalam kelompok pembuat garam itu bisa mempercepat produksi dan meningkatkan mutu garam yang dihasilkan.
“Kalau perlindungan lahan itu kita harapkan dari isnatansi yang membidangi. Namun untuk produksi dan menjaga mutu kita sudah dibantu oleh pusat sehingga ini akan bisa menjaga kelestarian usaha pembuatan garam tradisional di daerah kita,” jelasnya. (mudiarta/balipost)