DENPASAR, BALIPOST.com – Mantan Bupati Jembrana Prof. Gede Winasa, Rabu (8/3), kembali dihadirkan di Pengadilan Tipikor Denpasar. Dia menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli, dalam kasus dugaan korupsi perjalanan dinas (perdin) 2009/2010. JPU dari Kejari Jembrana, menghadirkan satu saksi dan satu ahli BPK Provinsi Bali.
Namun ahli BPK, Andy Mahbub Arik Widiyanto, yang memberikan penjelasan lebih banyak. Awalnya, majelis hakim pimpinan Wayan Sukanila menanyakan proses keterlibatan BPK dalam kasus ini. Ahli mengatakan bahwa dia bersama tim melakukan pemeriksaan berdasarkan permintaan Kejari Jembrana.
Di depan persidangan, ahli menyebut bahwa intinya setelah dilakukan verifikasi awal, indikasi perbuatan melawan hukum (PMH), dalam kasus perdin ini sudah dapat diyakini ada.
Polanya adalah melakukan expose perkara bersama pihak kejaksaan dan tim bentukan BPK. Dari dokumen awal dan bukti yang ada, diyakini bahwa PMH itu ada. Walau kita yakini ada PMH, namun awalnya ada beberapa dokumen yang kurang. Sehingga penghitungan kerugian negara kala itu belum bisa dihitung,” jelas ahli.
Dan, pihaknya meminta kejaksaan untuk melengkapi dokumen, dan setelah itu dibentuk tim BPK.
Berdasarkan bukti dokumen kejaksaan, ditemukan dua fakta. Pertama perdin bupati dilakukan berdasarkan undangan dan kedua inisiatif sendiri bupati. Polanya pun sedikit berbeda, yakni ada perdin yang dipersiapkan sekpri, seperti pengurusan administrasi, surat tugas dan lain sebagainya.
Atas dokumen itu, juga ditemukan adanya dugaan penyimpangan. Yakni, beberapa kali perdin tidak sesuai fakta. Fakta lain berdasarkan keterangan saksi bahwa perdin yang dilaksanakan tidak sesuai surat tugas. BPK menemukan bukti tiket pesawat, bording pass yang bahkan atas nama orang lain sehingga ditemukan ada ketidak sesuaian. Lantas, dari sana ada pertanyaan, benar kah ada perdin? “Kita kuatkan lagi dengan jaksa, dengan meminta konfirmasi ke penyelenggara,” ucap ahli BPK.
Khusus untuk kasus di Jembrana, BPK menemukan adanya 68 SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas). Dari jumlah itu, ada ditemukan ketidak-sesuaian misalnya soal lamanya perdin, dan bahkan tidak sesuai dengan surat tugas. ”Sehingga diyakini ada PHM dan dilakukam penghitungan kerugian negara,” sambung ahli.
Dari 68 SPPD yang dilakukan penghitungan, ada dana Rp 916 juta sekian. Padahal dari perhitungan BPK awal, ada temuan Rp 800 juta sekian. Sehingga ini bertambahan. Dari perhitungan tersebut, BPK menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp 797,5 juta.
Seiring persidangan kemarin, juga mengemuka pengembalian Rp 20 juta. Dan itu dibenarkan BPK. “Penyetoran uang ke kas negara memang benar ada pengembalian,” ucap ahli.
Dalam sidang kemarin, Winasa diberikan kesempatan untuk bertanya, soal tiket dan bording pass palsu. Namun soal itu, ahli ga mau menjawab karena itu bukan keahliannya untuk menyatakan fiktif atau palsu.
Yang jelas, sambung ahli, segala bukti yang didapatkan dari jaksa, bukti-bukti itu dikonfirmasi ke orang yang berkompeten dan penyelenggra. “Kami tidak mengatakan tiket itu fiktitf atau palu,” tandas ahli.
Atas keterangan itu, Winasa kemudian minta ahli menunjukkkan salah satu bukti tiket yang diperiksanya atau yang diterimanya dari kejaksaan. Di sanalah memang ditemukan perbedaan.
Prof. Winasa kemudian meminta supaya SPDP ajudan juga dihadirkan dan ditunjukkan sebagai pembanding. “Karena ahli dalam memberikan keterangan berdasarkan keyakinan,” tandas Winasa.
Hakim Wayan Sukanila kemudian menengahi. Dikatakan Sukanila, terdakwa boleh setuju atau tidak dengan keterangan ahli. Terdakwa boleh mengajukan ahli yang dapat mengkonter keterangan ahli ini. Kesempatan itu juga diberikan ke pihak terdakwa untuk dihadirkan dalam sidang selanjutnya. (miasa/balipost)