Sejumlah anggota Sekaa Teruna Praja Taruna Mahottama Banjar Sengguan, Desa Sempidi, Badung merampungkan proses pembuatan ogoh-ogoh bertema “Sesuluh Ulah Aluh”saat pelaksanaan Hari Suci Nyepi 2017. (BP/Dokumen)
MENGARAK ogoh-ogoh keliling wawengkon desa/banjar pakraman di malam Pangrupukan, tampaknya sudah menjadi semacam “keharusan” bagi mayoritas sekaa teruna di Bali. Segala daya kreasi dan imajinasi serta dana dicurahkan guna mewujudkan ogoh-ogoh sesempurna mungkin.

Tidak tanggung-tanggung, teknologi canggihpun diaplikasikan dalam desain dan konstruksi boneka bhuta kala itu untuk menciptakan efek-efek dramatis yang diinginkan para kreatornya. Tak peduli, uang yang terkuras mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah.

Dalam konteks ini, keberadaan ogoh-ogoh bisa diposisikan sebagai ajang pembuktian dari pergulatan kreativitas seni dan juga lambang gengsi lantaran produk itu sengaja dipertontonkan kepada khalayak ramai.

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Drs. I Dewa Putu Beratha, M. Si. mengatakan, prosesi mengarak ogoh-ogoh saat Pangrupukan merupakan sebuah ekspresi atau kreativitas seni menyambut Tahun Baru Saka.

Aktivitas ini bukan merupakan bagian dari ritual alias tidak ada kaitannya secara langsung dengan upacara Tawur Kasanga. Dengan kata lain, dia murni merupakan geliat kreativitas seni dengan memanfaatkan momen Pangrupukan sebagai media aktualisasi.

Baca juga:  Pecalang dan Yonif Mekanis 741/GN Patroli Nyepi, Temukan Warga Hidupkan Lampu

Media untuk menunjukkan hasil kreativitas itu kepada khalayak ramai. ”Mengingat bukan merupakan bagian dari ritual, maka prosesi mengarak ogoh-ogoh itu bukan merupakan sebuah keharusan. Artinya, tanpa kehadiran ogoh-ogoh pun esensi perayaan Nyepi tidak akan berkurang,” kata Beratha kepada Bali Post, Rabu (15/3).

Beratha menambahkan, dirinya belum melihat adanya sastra agama yang mengamanatkan kepada umat Hindu untuk menggelar prosesi ogoh-ogoh saat Pangrupukan. Sampai saat ini, sastra yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan Nyepi dan Tawur Agung (termasuk Melasti) adalah Lontar Purana Bali Dwipa dan Sundarigama. Tak satu pun dari kedua lontar itu membahas tentang ogoh-ogoh. “Jadi, kegairahan generasi muda mengarak ogoh-ogoh itu tidak ada pijakan sastra-nya. Murni sebagai media aktualisasi kreativitas seni,” tegasnya.

Kendati tanpa pijakan sastra agama, Beratha menegaskan kreativitas seni anak muda yang tercurah dalam tradisi ogoh-ogoh itu wajib diakomodasi. Namun, kreativitas itu perlu diarahkan sehingga tidak bergerak liar dan porsinya menjadi benar.

Baca juga:  Produsen Loloh Cemcem Penglipuran Alami Kekurangan Bahan Baku

Misalnya, wujud ogoh-ogoh tidak boleh melecehkan seseorang atau kelompok tertentu, bebas dari unsur pornografi dan hal-hal negatif lainnya. “Tidak kalah pentingnya, kreativitas seni itu jangan sampai menenggelamkan esensi dari ritual upacara keagamaan itu sendiri. Jangan sampai, umat justru lebih memusatkan konsentrasi dalam pembuatan ogoh-ogoh ketimbang mempersiapkan rangkaian prosesi Nyepi beserta upakara-upakara lain yang menyertainya,” katanya mengingatkan.

Keberadaan ogoh-ogoh sebagai media aktualisasi kreativitas seni juga dilontarkan Ketua Sekaa Teruna Praja Taruna Mahottama Banjar Sengguan, Desa Sempidi, Badung  I Putu Candra Pradhita, S.Sn., M.Pd. Serangkaian perayaan Nyepi tahun ini, alumnus ISI Denpasar ini bersama Mika Raditya, Putu Surata, Edy Kusuma, Pande Sukarya dan Anom dibantu anggota sekaa teruna lainnya merancang ogoh-goh bertema “Sesuluh Ulah Aluh”.

Baca juga:  Bergerak Bersama Wujudkan SDM Bali Unggul Sesuai Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali

Ogoh-ogoh yang divisualisasikan lewat figur burung garuda, tikus dan seorang veteran ini merupakan refleksi dari kondisi bangsa saat ini yang tidak lagi dijajah bangsa lain tapi justru  dijajah bangsa sendiri. Kebinekaan Indonesia tengah diuji, kekuatan Sang Garuda tengah diperangi oleh “tikus-tikus” perusuh yang ingin mencabik-cabik keutuhan NKRI.

Padahal, di masa lalu para pejuang termasuk veteran berjuang bersatu padu dengan gagah berani mengusir para penjajah tanpa memandang suku, agama, ras, agama atargolongan (SARA) untuk merebut kemerdekaan.

“Lewat karya ogoh-ogoh ini, kami ingin memberi sasuluh (cermin)  kepada generasi muda Bali agar tidak ulah aluh (gampangan) menghancurkan itu semua. Selain sebagai media aktualisasi kreativitas seni, kami juga ingin mengajak generasi muda Bali untuk introspeksi karena momentum perayaan Nyepi merupakan saat yang tepat untuk merenung,” tegas Candra Pradhita menuturkan makna ogoh-ogoh hasil kreativitas Sekaa Teruna Praja Taruna Mahottama tersebut. (sumatika/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *