SINGARAJA, BALIPOST.com – Tradisi nyakan diwang di sejumlah desa di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng masih dijalankan masyarakat saat Ngembak Geni, rangkaian Hari Raya Nyepi, Rabu (29/3). Salah satunya di Desa Kayuputih.

Tradisi yang digelar di desa ini nampak berbeda dengan desa di Kecamatan lain. Saat Nyipeng berakhir pukul 24.00 Wita, lampu di seluruh rumah mulai menyala. Suasana gelap gulita yang sebelumnya berbaur dengan ketenangan, berubah benjadi terang.

Saat itulah, warga mulai keluar rumah, layaknya laron yang mencari sinar. Mereka juga sibuk menyiapkan peralatan memasak untuk dibawa ke tungku di luar rumah atau yang sering disebut diwang yang dibuat saat Pengerupukan. Hal ini dilakukan secara serempak seluruh masyarakat. Anak-anak pun tak ingin melewatkan momen unik yang rutin setiap tahun ini. Mereka turut sibuk menyalakan api. Ada pula yang hanya bercengkrama dengan orang tuanya.

Baca juga:  Desa Adat Tegenan Gelar Bulan Bahasa dengan Sejumlah Lomba

Saat suasana demikian, rasa kekeluargaan mulai terasa. Antarwarga saling mengunjungi. Bercanda gurau, bertegur sapa sembari berdiang pada api yang telah membara melahap keringnya kayu bakar. Tak hanya itu, kalangan dewasa pun juga memiilih untuk berjalan-jalan disekitar desa. Tak ada yang menggunakan kendaraan, namun hanya berjalan kaki.

Salah seorang warga, Putu Dedi Lastika menuturkan tradisi ini sudah ada secara turun-temurun. Belum ada yang mengetahui secara pasti kapan itu muncul. Meskipun demikian, masyarakat tetap rutin menjalankan setiap tahun. “Sampai sekarang belum ada yang megetahui sejak kapan ini berlangsung. Ini sudah warisan turun-temurun,” ungkapnya.

Baca juga:  Bersamaan dengan Nyepi, Siswa Tak Perlu Sekolah saat Perayaan Saraswati

Ia pun menyebutkan tradisi itu memberikan dampak positif bagi masyarakat, khususnya untuk mempererat rasa kekeluargaan. Namun, disisi lain, seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern, sejumlah masyarakat hanya memilih untuk menyalakan api pada tungku. Sementara aktivitas memasak dilakukan di dapur. “Kalau dilihat dari tahun ketahun, memang ada kesan memudar. Tetapi dari desa adat sudah menghimbau ini harus dilestarikan,” katanya.

Tokoh masyarakat, I Wayan Suteja mengatakan nyakan diwang sudah disaksikan sejak 1950-an, saat dirinya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Orang tuanya pun mengaku tidak mengetahui asal-usul kemunculannya. “Saat orang tua ditanya, katanya sudah menemukan seperti ini dan sampai sekarang masih bertahan,” ungkapnya.

Baca juga:  Lakukan Introspeksi di Bidang Ekonomi

Sementara itu, Bendesa Adat Kayuputih, Jero Nyoman Oka menyebutkan selain sebagai media silaturahmi, tradisi ini juga berkaitan dengan penyucian diri. Zaman dulu, sejumlah warga ada yang melaksanakan nyepi di karang. Ada pula yang nyepi diluar karang. “Nah, saat warga yang nyepi diluar karang ini berkunjung ke warga yang nyepi di karang, terlebih dahulu disambut dengan api sebelum masuk rumah. Itu tujuannya untuk penyucian. Di api itu sekalian warga memasak. Dibuatkan tungku,” terangnya. (Sosiawan/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *