JAKARTA, BALIPOST.com – Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) merilis hasil Survei Hasil Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Hasilnya, perempuan di perkotaan cenderung lebih tinggi mengalami kekerasan seksual dibanding mereka yang hidup di perdesaan.
Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, hasil survei juga menyatakan terdapat 1 dari 3 perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Ia mengatakan dari total 33,4 persen perempuan 15-64 tahun yang seumur hidup menjadi korban kekerasan fisik dan seksual, 15,3 persen di antaranya merupakan korban kekerasan seksual. “Dalam 12 bulan terakhir, sekitar 1 dari 10 perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual dari pasangan dan selain pasangan. Sebanyak 36 persen ada di perkotaan, sedangkan desa 19,8 persen,” kata Suhariyanto, di kantor BPS, Kamis (30/3).
Ia mengutarakan bentuk kekerasan seksual itu beragam. Mulai dari meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan badan. “Bagi perempuan yang pernah atau sedang menikah, sebanyak 7,8 persen melakukan hubungan seksual karena takut, 6,3 persen dipaksa melakukan hubungan saat tidak ingin, hingga dipaksa melakukan tindakan seksual yang merendahkan atau memalukan sebanyak 2 persen. Ini dilakukan oleh pasangannya,” jelasnya.
Sedangkan kekerasan seksual dari selain pasangan bagi perempuan yang sudah atau sedang menikah, lanjutnya, 10 persen dikirimi pesan atau komentar bernada seksual. Sekitar 7,1 persen menyentuh atau meraba tubuh, 5,1 persen memperlihatkan gambar seksual, dan 2,8 persen memaksa berhubungan seksual.Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Vennetia R. Danes menegaskan hasil survei akan dipakai patokan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan, terkait perlindungan perempuan di Indonesia. Survei ini sangat penting agar memiliki data yang representatif tentang prevalensi kekerasan terhadap perempuan secara keseluruhan.
SPHPN 2016 dilakukan dalam rangka mengetahui prevalensi perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, baik yang dilakukan oleh pasangan maupun yang bukan pasangan. “Sejauh ini Kemen PPPA sudah melakukan beberapa upaya untuk penanganan korban. Kita punya P2TP2A, kita juga punya UPPPA di kepolisian, untuk pelayanan perempuan dan anak yang jadi korban kejahatan,” paparnya. (kmb/balitv)