JAKARTA, BALIPOST.com – Presiden Joko Widodo menegaskan perbedaan yang ada di negeri ini tidak mesti diseragamkan, tetapi tidak pula harus ditiadakan. Perbedaan semestinya diikat oleh tali-tali persaudaraan, tali-tali kebersamaan, dan tali-tali persatuan.
“Semua perbedaan itu tidak harus diseragamkan, tidak juga harus ditiadakan, dan bahkan dilenyapkan. Semua perbedaan dan keragaman itu justru harus diikat oleh tali persaudaraan, tali kebersamaan, dan tali-tali persatuan di negara kita Indonesia,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada acara Dharmasanti Nasional Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1939 yang digelar di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Sabtu (22/4).
Pada kesempatan tersebut, Presiden Jokowi mengawali sambutannya dengan menyampaikan ucapan selamat Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu di Indonesia. “Semoga perayaan Nyepi yang waktunya berdekatan dengan Hari Raya Galungan dan Kuningan bisa memberikan keheningan jiwa, rasa Shanti atau kedamaian, dan juga Jagadhita atau kesejahteraan bagi kita semua,” ujarnya.
Kepala Negara mengajak melalui momentum Hari Raya Nyepi Umat Hindu hendaknya membersihkan diri dan memohon pada Sang Hyang Widi Wasa agar diberikan kekuatan untuk bisa menjalankan kehidupan menjadi lebih baik di masa mendatang. “Dengan menjalankan Catur Bratha Penyepian, umat Hindu menyambut tahun baru Saka dengan semangat yang baru, dengan jiwa yang damai, yang lebih harmonis sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana,” kata Jokowi.
Tri Hita Karana, menurut Jokowi merupakan falsafah hidup yang harus dipegang oleh umat Hindu. Falsafah yang mengajarkan umat untuk melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan sekitarnya.
“Kita telah banyak mengambil dari alam untuk dimanfaatkan bagi sumber kehidupan kita, dan sudah saatnya kita juga kembali membayarnya dengan cara menjaga dan melestarikan alam. Hanya dengan cara itu kita semuanya akan mendapatkan kehidupan yang harmoni, Shanti dan Jagadhita,” tegasnya.
Kehidupan yang harmoni, diyakini Presiden Jokowi menjadi harapan dan impian semua orang. Apalagi di negara Indonesia, yang memiliki banyak perbedaan suku, bahasa, dan juga keyakinan, maka semangat menjaga keharmonisan harus terus dipelihara.
“Perbedaan latarbelakang suku, latar belakang agama, latar belakang budaya bukanlah penghalang untuk kita bersatu dan bukan pula penghalang untuk hidup dalam keharmonisan, saling menghormati, saling membantu dan membangun solidaritas sosial yang kokoh,” imbuhnya.
Dalam menjaga kebersamaan itu, Indonesia patut bersyukur karena memiliki Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika. “Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan pemersatu kita semua. Kita juga mempunyai Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pilar kebangsaan yang kokoh untuk menjaga dan merawat Indonesia yang majemuk ini,” katanya.
Presiden Jokowi sekaligus meyakinkan kepada semua bahwa dengan terus berpegang teguh pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, maka Indonesia akan tetap bersatu, akan maju bersama, dan sejahtera bersama untuk menyongsong masa depan bangsa yang gemilang.
Di penghujung acara, Presiden menyaksikan Oratorium ”Mulat Sarira” oleh Sanggar LKB ”Saraswati” yang menggambarkan keberagaman budaya di Indonesia.
Ketua umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Wisnu Bawa Tenaya mrngatakan dalam relasi perikehidupan antar umat manusia tampak ada kecenderungan makin merenggangnya ikatan sosial sesama bangsa. “Hal ini berakibat pada terganggunya kerukunan dan kedamaian masyarakat, dan jika dibiarkan dapat mengancam keutuhan negara,” ujarnya.
Oleh karenanya, relasi sosial harus senantiasa dibangun terus menerus dan ditumbuhkembangkan untuk memperkuat toleransi dan penghargaan atas kebhinekaan yang merupakan anugerah Tuhan. “Toleransi dan penghargaan tesebut pada akhirnya akan menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dengan landasan konstitusional UUD 1945,” imbuhnya.
Sudah menjadi kenyataan, menurut Wisnu, bahwa NKRI dibangun di atas perbedaan suku, adat istiadat, agama dan lainnya. “Dengan mengimplementasikan ajaran Catur Brata dalam kehidupan sehari-hari, kita rajut dan kita eratkan kembali ikatan persaudaraan antar sesama manusia,” kata Wisnu.
Ketua Panitia Penyelenggara Dharmasanti Nasional Perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1939 I Ketut Untung Yoga Ana mengatakan agama Hindu memiliki ajaran sangat luas dan bersifat universal, salah satunya Vasudhaiva Kutumbakam yang secara harfiah berarti kita kita semua adalah bersaudara. Oleh karena itu, sesungguhnya hakikat persaudaraan adalah bersama-sama membangun kekuatan dalam menjaga keutuhan NKRI.
Oleh karena itu, Perayaan Nyepi Tahun Baru Saka 1939 sengaja memilih tema “Jadikan Catur Brata Penyepian Memperkuat Toleransi Kenhinekaan Berbangsa dan Bernegara Demi Keutuhan NKRI” karena didasari rasa keprihatinan atas fenomena berkurangnya sikap toleransi dan menipisnya kesadaran akan keniscayaan keberagaman dan kebhinekaan yang sesungguhnya merupakan kekuatan bangsa Indonesia.
“Untuk memaknai Perayaan Tahun Baru Saka, dipentaskan oratorium tari berjudul Mulat Sarira Awal Mulanya Tahun Saka. Pemilihan cerita ini untuk membangun toleransi guna meningkatkan persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni dan damai,” kata Untung Yoga.
Perayaan Nyepi juga diisi dengan ceramah agama oleh Guru Besar Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Prof. Ida Bagus Gde Yudha Triguna yang menyampaikan kisah percakapan Yaksa dengan Yudhistira, yang esensinya bahwa hanya dharma yang bisa melindungi manusia. Jika mengabaikan dharma, manusia akan menemui kehancuran.
Tampak hadir mendampingi Presiden, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Koperasi dan UKM AAGN Puspayoga, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono. (kmb/balipost)