NEGARA, BALIPOST.com- Keberadaan kafe-kafe di Delod Berawah, Kecamatan Mendoyo belakangan ini kembali menimbulkan pro dan kontra. Bahkan, ada rencana kafe-kafe akan ditutup.
Hal tersebut menyeruak dalam pertemuan dengan agenda menyerap aspirasi masyarakat yang dilakukan sejak Jumat (22/4) dan Sabtu (23/4) malam lalu di beberapa banjar dan termasuk banjar Kertayasa dan di Banjar Adat Tegal Sari, Banjar Berawan Tunjung Desa Delod Berawah.
Rapat dihadiri Kepala Desa Delod Berawah Made Rentana dan Bendesa Pekraman Delod Berawah Nengah Milodana. Serta tokoh-tokoh masyarakat.
Rapat dibuka oleh Bendesa Adat Delod Berawah, dimana dalam rapat penyerapan aspirasi tersebut diharapkan warga masyarakat banjar adat bisa memberikan masukan terkait permasalahan yang dihadapi, mengenai keberadaan pondok-pondok wisata (kafe) yang ada di Desa Delod Berawah.
Dalam pertemuan tersebut, disepakati masyarakat adat bahwa keberadaan pondok-pondok wisata dan kafe di Desa Delod Berawah ditutup. Alasannnya, dinilai mengganggu kenyamanan karena seringnya terjadi perkelahian yang disebabkan pengunjung kebanyakan mengkonsumsi miras serta menimbulkan kesan negatif terhadap Desa Delod Berawah.
Keberadaan Pondok wisata tidak memiliki izin sesuai peruntukannya. Pengusaha pondok wisata tidak mematuhi aturan (tata tertib) yang telah ditetapkan oleh Desa Pakraman Delod Berawah.
Sementara atas kesepakatan itu, beberapa pemilik kafe yang beroperasi di kawasan pesisir Desa Delod Berawah, Kecamatan Mendoyo, Jembrana keberatan dan akan melakukan perlawanan jika kafe-kafe mereka akan ditutup.
Salah satunya Ketut Purnawirama alias Tumplung seorang pengelola kafe sekaligus pemucuk Desa Pekraman Delod Berawah. Dia mengatakan, pihaknya akan melakukan perlawanan.
Hal senada juga dikatakan Pak Dem. Menurutnya, keputusan untuk menutup semua kafe adalah keputusan keliru karena akan menyebabkan Desa Delod Berawah mundur dan kembali terpuruk seperti sebelum adanya kafe-kafe tersebut.
Sejak 18 tahun kafe-kafe di Delod Berawah berdiri, kontribusi ke desa baik itu desa pakraman maupun desa dinas sangat besar.
Lanjut Tumplung, rencana penutupan kafe dengan dasar hasil rapat di banjar adalah hanya dalil dari Perbekel saja. Masalah yang sebenarnya adalah target penjualaan Bir Angker sesuai kontrak kerjasama antara pihak desa dengan distributor tidak tercapai.
“Sumber masalah yang sebenarnya adalah target penjualan Bir Angker. Target penjualan itu berhubungan dengan kompensasi,” katanya.
Tumplung dan pengelola kafe lainnya, juga mengaku heran terkait kompensasi penjualan bir. Dimana kontrak pertama dengan Bir Bintang targetnya 7.200 krat pertahun dengan nilai kompensasi untuk desa Rp 300 juta. Namun yang mengherankan kontrak kedua dengan bir Angker targetnya dua kali lipat yakni 14.000 krat pertahun dengan kompensasi juga sama Rp 300 juta. (kmb/balipost)