PATI, BALIPOST.com – Ada ide baru dari Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Sukoharjo, Kabupaten Pati Jawa Tengah. Jika umumnya TPA kumuh dan bau tak sedap, tapi TPA di Desa Sukoharjo, Kecamatan Margorejo ini malah menjadi obyek wisata. Kok bisa?
Ya, TPA ini disulap menjadi arena hiburan satwa dan mainan anak. Mereka sukses mengubah image TPA menjadi obyek wisata, dan ini membuat masyarakat berbondong-bondong mencari hiburan di TPA seluas 12,5 hektar tersebut.
Hampir setiap harinya, ratusan orang baik personal maupun rombongan sekolah mengunjungi lokasi sampah yang sudah mirip kebun binatang itu. Banyak aneka satwa yang dipelihara disana. Ada aneka burung, kera, ayam, kijang dll.
Arena mainan anak, tanaman buah dan berbagai jenis bunga taman. Dilengkapi wahana bermain seluas 1 ha, lapangan tembak, musholla, MC, dan kios yang menjual jajanan dan oleh oleh.
“Para penjual jajanan itu merupakan pihak keluarga para pekerja yang bekerja di TPA Sukoharjo,” kata pengelola TPA Sukoharjo, Agus Sudarmono sambil merinci jumlah petugas yang dilibatkan dalam pengelolaan TPA itu.
Pekerja yang terlibat terdiri 18 orang tenaga harian dan 4 PNS dari DPUPR Pati. Mereka ini yang mengelola TPA, dari bagian penggalian lubang, pengelolaan gas metan, perawatan hewan dan taman, serta timbangan sampah.
Menurut Agus, TPA Sukoharjo setiap harinya menampung 60 ton sampah yang berasal dari kota Pati, kecamatan Wedarijaksa, Trangkil dan Gabus.
“Tetapi kalau pas ada hari besar nasional atau keagamaan, terjadi peningkatan sampai 20%” ujar alumnus Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini.
Adapun sampah yang berasal dari Kecamatan Juwana yang jumlahnya diperkirakan mencapai 20 ton, dikelola TPA Pekuwon. Sedang sampah dari Kecamatan Tayu dan Margoyoso ditangani di TPA Sampok Kecamatan Gunungwungkal. TPA Sukoharjo dibuat pada tahun 1985 oleh mantan Bupati Pati Saoedji.
Kemudian ditata lebih rapi sejak tahun 1994. Kemudian sejak tahun 2002, dikelola maksimal pihak DPU Pati, karena untuk mendukung penilaian Adipura.
Hasilnya memang sangat luar biasa. Karena pada tahun 2017 atau masuk tahun ke delapan dalam partisipasi (penilaian) Adipura, posisi TPA Sukoharjo ternyata mampu menghantarkan kabupaten Pati merebut juara kategori kota kecil.
Pada awalnya, TPA Sukoharjo menangani sampah dengan sistim Open Dumping. Yaitu sampah ditumpuk dan tidak ditutup. Lalu ditangani dengan sistim Control Landfield, yakni gundukan sampah ditutup dengan jeda waktu setiap dua hari sekali. “Penutupan sampah dimaksudkan supaya mematikan perkembangan lalat dan menyalurkan gas” katanya.
Sekarang TPA Sukoharjo menggunakan sistim Sanitary Landield. Sistem ini memasukkan sampah ke dalam lobang namun hanya sampah jenis organik atau yang terdiri dari daun saja.
Kepala DPUPR Pati, Ir H. Suharyono menambahkan, anggaran untuk Sanitary Landfiled didapat dari bantuan APBN sebesar Rp. 15 miliar. “Namun untuk penambahan jumlah satwa ternyata sulit dilakukan, karena jika mau menambah harus ada ijin khusus dari Menteri Lingkungan Hidup,” kata Suharyono.
Adapun sampah di TPA Sukoharjo ini diolah di tiga kawasan. Zona pertama dan ke dua sudah tidak aktif lagi karena lobangnya sudah ditutup. Sehingga yang aktif hanya di zona 3 seluas 1,5 ha. Pelobangan mencapai kedalaman 12 meter.
Lalu dibuatkan tanggul setinggi 15 m (sistim terasiring) karena untuk menahan bau dan lalat.Keberadaan TPA Sukoharjo Pati saat ini menjadi yang terbaik di pulau Jawa, karena berhasil mengalahkan pengelolaan sampah di Bandargebang Jakarta Timur. Maka tidak heran kalau TPA Sukoharjo sekarang ini berubah menjadi distinasi wisata baru.
Menpar Arief Yahya menyebut, pengelolaan sampah itu sangat penting dan mendesak di semua kota. Healty and Hygiene itu satu dari 14 pilar yang dikalibrasi TTCI Travel and Tourism Competitiveness Index, oleh WEF World Economic Forum. “Kalau tidak dikelola dengan baik, maka ini menjadi faktor pelemahan daya saing pariwisata Indonesia,” kata Arief Yahya.
Selain itu, sampah bisa diubah menjadi energi listrik atau green energy. Mengubah gas metan yang bisa merusak lingkungan, menjadi energi yang ramah lingkungan. Juga bisa menjadi kompos yang bermanfaat buat tanaman. “Saya kira sudah saatnya semua kota memikirkan manajemen sampah yang baik san sehat,” kata Arief Yahya. (kmb/balipost)