perdin
Mantan Bupati Jembrana Gede Winasa saat menunggu pelaksanaan sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. (BP/dok)
DENPASAR, BALIPOST.com- Profesor Dr. drg. I Gede Winasa, yang didakwa atas kasus dugaan korupsi perjalanan dinas (perdin) saat menjabat sebagai Bupati Jembrana, Jumat (28/4), dituntut hukuman selama 7 tahun penjara.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, JPU Ni Wayan Mearthi, Ni Ketut Lili Suryanti dkk., mengatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Yakni, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Oleh karenanya, JPU dari Kejari Jembrana itu menuntut supaya majelis hakim pimpinan Wayan Sukanila yang menyidangkan perkara ini, supaya menghukum Prof. Winasa selama 7 tahun penjara. Di samping itu, terdakwa juga dikenakan denda Rp 200 juta, subsider satu tahun kurungan. “Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Prof. Winasa, berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 797.554.800.,” tuntut jaksa.

Baca juga:  Dubes Hungaria Kunjungi Badung, Ini yang Dibicarakan

Ketentuannya, jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika terdakwa tidak mempunyai harta benda untuk menutupi uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama dua tahun.

Sebelum pada kesimpulan tersebut, jaksa mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan. Yakni, kata jaksa, terdakwa dua kali terjerat kasus korupsi, dan sampai sekarang masih menjalani proses penahanan. Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian negara, dan perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Tidak ada pertimbangan yang meringankan yang disampaikan jaksa.

Dalam perkara ini, terdakwa Winasa dinyatakan terbukti bersalah dalam dakwaan primer yakni melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat 1 huruf b, UU Tipikor No.31 tahun 1999 tentang tipikor, sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang tipikor.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Bali Naik dari Sehari Sebelumnya, Korban Jiwa Tetap Dicatatkan

Atas tuntutan tersebut, Prof. Winasa begitu tenang dan bahkan tersenyum mendengar tuntutan jaksa. Majelis hakim memberikan kesempatan pada terdakwa Prof. Winasa, untuk melakukan konsultasi dengan kuasa hukumnya, Wayan Gede Mardika dkk. Winasa kembali tersenyum, dan menyampaikan ke majelis hakim bahwa dia bersama tim kuasa hukumnya akan mengajukan pembelaan dalam sidang pekan depan.

Usai sidang, Prof. Winasa, mengaku bahwa tidak ada kejujuran dalam perkara Perdin Jembrana ini. Mengapa?  Winasa mengatakan bahwa dia hanya digandeng-gandeng dan dikait-kaitkan dengan kasus perdin tersebut. “Padahal saya tidak melakukan. Yang melakukan yang menerima kelengkapan, yaitu orang lain,” katanya.

Siapa orang lain dimaksud? Profesor yang banyak menyabet rekor Muri itu mengatakan seharusnya sekretaris pribadi (sekpri) dan ajudan. “Seharusnya sekpri dan ajudan saya. Yang melakukan verifikasi adalah PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) dan juga Pengguna Anggaran (PA),” tegas mantan penguasa dua periode di Bumi Makepung itu.

Baca juga:  Objek Wisata Sangeh Sepi, Manajemen Harus Putar Otak Biayai Pakan Kera

Jadi, sambung Prof. Winasa, untuk dinyatakan perdin itu menjadi lengkap, harus diverifikasi PPTK. “Saya kan gak tau PPTK. Yang mengkoreksi. Kalau itu (koreksi) sudah dikatakan benar, masa saya menolaknya,” tandas Winasa. Inilah alasan mengapa Winasa menyeret PPTK dan PA. Sehingga dia mempertanyakan mengapa yang mengkoreksi tidak disentuh, mengapa PA tidak disentuh. Oleh karenanya, Winasa akan melakukan pembelaan. “Pembelaan saya adalah setia dan kejujuran. Setia dengan undang-undang, dan jujur dengan fakta,” tandasnya.

Dia memandang, jaksa tidak jujur melihat fakta. Kedua perkaranya dijejer, dengan tahun 2009. “Seolah saya menjadi residivis. Mengapa harus dijejer kaya parkir, mengaa harus selesai pilkada dulu. Ini sangat erat hubungannya dengan pilkada. Masa menunggu selama lima tahun, baru kasus ini diproses,” sesal Prof. Winasa. (miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *