JAKARTA, BALIPOST.com – Maraknya kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di dunia pendidikan mendorong Komnas HAM untuk memberikan kontribusi pemikiran untuk mengatasinya melalui konsep Sekolah Ramah Hak Asasi Manusia (SRH). Konsep SRH telah dirumuskan oleh Komnas HAM khususnya di Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan sejak 2014, dan diharapkan menjadi program unggulan Komnas HAM.
Setelah melalui berbagai tahap perumusan, permintaan pendapat dari kalangan pendidik, uji publik, dan diskusi yang dilakukan secara terus menerus, pada 15 November 2016 diadakan Pertemuan dengan Ahli untuk menyempurnakan konsep SRH dan merumuskan strategi advokasinya.
Ahli dan praktisi pendidikan yang datang memberikan masukan adalah Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd, Prof. Dr. Mulyasa, M.Pd, Henny Supolo (Yayasan Cahaya Guru), Nia Sjarifudin (Koordinator Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika), Abdoel Charis (Pemerhati Pendidikan), dan Ibe Karyanto (Pendiri Sanggar Akar).
Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Muh. Nurkhoiron menyampaikan dalam pembukaan bahwa SRH akan selalu diperbaiki secara konseptual, terus menerus, sehingga bisa diimplementasikan secara efektif. “Sekolah telah menjadi tempat mereproduksi kekerasan, padahal seharusnya menjadi wadah untuk mereproduksi pengetahuan dan gagasan yang produktif,“ ujar Nurkhoiron.
Sudah terlalu banyak konsep tentang sekolah ideal yang digagas oleh banyak pihak baik negara maupun non negara, namun tidak berjalan dengan baik sehingga membebani guru dan siswa. “SRH jangan menjadi beban baru bagi guru dan siswa, justru harus menjadi solusi,” harap Nurkhoiron.
Nurkhoiron berkeinginan SRH mampu menjadi alat untuk mentransformasi pengetahuan dan kesadaran baru berbasis pada nilai dan norma HAM, sehingga pendidikan menjadi lebih humanis, bukan sebaliknya.
Saran agar SRH menjadi dokumen yang lebih operasional disampaikan oleh Prof. Mulyasa, sehingga SRH mampu menjadi pedoman bagi guru dan murid. Di samping itu, SRH agar bisa sejalan dengan model, metode, dan kurikulum yang berlaku, sehingga tidak menjadi beban baru. “Sebagai konsep, SRH perlu terus diperbaiki dan harus ada mekanisme penilaian atau rewards bagi pihak menerapkan SRH,” papar Prof. Mulyasa.
Sedangkan Henny Supolo menyampaikan harapan agar SRH mampu menciptakan “ruang-ruang perjumpaan” bagi anak didik supaya mampu menerobos segala jenis perbedaan menjadi sebuah kekuatan dan kebersamaan. Jangan sampai terjadi ruang pendidikan yang eksklusif, ujar Henny.
“Pendidikan agar sejalan dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara yaitu pengembangan hidup secara lahir dan batin menurut kodratnya,” papar Henny.
Nia Sjarifudin menyayangkan bahwa negara tidak pernah mengambil pelajaran dari berbagai fenomena kekerasan yang terjadi, namun cenderung dibiarkan. “Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari berbagai peristiwa tersebut, untuk memperbaiki pendidikan berbasis pada karakter bangsa, “ ujar Nia.
Sementara Charis mengharapkan SRH menjadi strategi nasional yang mengatasi problem pendidikan dari akar masalahnya. “ Sebagai sebuah strategi, maka SRH membutuhkan adanya media campaign, pendekatan yang berbasis pada muatan lokal, pendekatan yang tidak formal/prosedural, dan pilot project SRH agar memperhatikan keberagaman potensi guru/siswa dan wilayah, “ usul Charis.
Ibe Karyanto menceritakan bahwa Sanggar Akar tidak dimulai dari konsep pendidikan, namun berangkat dari persoalan yang dihadapi oleh anak-anak marjinal. “ Dari perjumpaan dari komunitas anak marjinal tersebut, ada perjumpaan-perjumpaan yang menghasilkan inovasi sebagai jawaban atas terabaikannya hak anak atas pendidikan, “ papar Ibe.
Terkait dengan SRH, Ibe menanyakan apakah SRH sebagai teori/pengetahuan ataukah sebagai implementasi? Menurut Ibe, hal ini perlu ditegaskan karena kebutuhannya akan berbeda. Jika sebagai teori/pengetahuan, maka yang dibutuhkan adalah refleksi dari pengetahuan itu. Sedangkan jika sebagai implementasi, membutuhkan adanya model, visual, dan pengalaman yang kongkret.
Sedangkan Prof. Arif Rachman di sesi terakhir menyampaikan bahwa SRH harus mampu membongkar diskriminasi bidang akademik, yang berakar dari ketidaksetaraan pendapatan dan peluang ekonomi. Ia mencontohkan adanya perbedaan pendapatan atau status ekonomi yang tajam antara lulusan perguruan tinggi yang berbeda jurusan maupun yang berbeda wilayah.
“Penghasilan profesi dokter jauh lebih tinggi dari guru. Pendidikan di Jawa dianggap lebih baik dari Sumatera. Hal inilah yang menjadi sumber diskriminasi pendidikan,” tegas Prof. Arif.
Untuk itu, sebagai sebuah konsep, Prof. Aris sangat mengapresiasi SRH, namun harus terus dilakukan perbaikan dan pembenahan atas konsep SRH itu berikut implementasinya. (kmb/balitv)