BANTUL, BALIPOST.com – Lingkungan Kebonagung, Imogiri, Bantul, 20 km dari Kota Yogya, masih dominan dengan sawah. Suasana pedesaan khas Yogya begitu terasa.

Pohon-pohon kelapa, pohon pisang, gardu ronda, pendopo, kandang hewan ternak menyatu dengan kehidupan mereka. Masyarakat Desa Kebonagung sebagian besar mengandalkan mata pencahariannya dengan bercocok tanam dan memelihara hewan ternak.

Potensi itulah yang dikembangkan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kebonagung. Hingga kemudian desa ini terkenal sebagai Desa Wisata Pertanian dan Budaya. Rumah-rumah warga yang siap pun “disulap” menjadi tempat penginapan.

Itu semua bermula pada tahun 2006 saat mereka kedatangan tamu 220 siswa SMA 71 Jakarta. Para pelajar itu live in selama tiga hari dua malam. Hidup bersama warga, tinggal di tengah-tengah warga, beraktivitas dengan warga.

“Saat itu, kami kelabakan untuk mencari tempat menginap. Saya data dan datangi satu per satu rumah siapa yang ada kamar dan bersedia menjadi tempat menginap. Benar-benar seadanya. Pengalaman ini membuat kami melakukan penyadaran pada warga untuk mulai menata rumahnya agar bisa menjadi tempat menginap,” cerita Pak Sardi, seksi homestay Desa Kebonagung.

Efek SMA 71 Jakarta itu positif bagi Kebonagung. Penataan atraksi wisata, penyediaan homestay untuk menginap mendapat perhatian Pokdarwis dan mendapat dukungan warga.

Kini, menerima tamu hingga 300 orang pun, Desa Wisata Kebonagung telah siap. Dan hal itu, belakangan ini, rutin mereka terima. Ada 40 homestay yang siap menampung tamu.

Rombongan SD Ciputra Surabaya beberapa kali melakukan live in di Kebonagung. Ratusan mahasiswa pertanian dari UPN Veteran Yogya juga rutin belajar bertani dengan masyarakat Kebonagung.

Semua ini memungkinkan karena 10 bus besar pun bisa tertampung untuk parkir di desa ini. Akses ke Kebonagung sudah sangat baik.

Baca juga:  Presiden Jokowi Singgung Magnet Wakatobi di Rapat Kabinet 

Apa yang bisa dinikmati dari Kebonagung? Secara berseloroh, dikatakan yang bisa dinikmati di sini adalah sesuatu yang tidak didapat oleh orang-orang di kota. Desa yang masih menyimpan keindahan alam dengan warna hijau persawahan.

Suara sapi yang melenguh dan kicauan burung yang terdengar merdu di pagi hari.  Berbagai tradisi seni dan reliji yang masih lestari. Kerajinan tangan, industri rumah tangga atau ke bendungan.

Tinggal di Kebonagung menyatu dengan aktivitas warga desa ngluku (membajak sawah), tandur (menanam bibit padi), angon bebek (menggembala itik) dan kegiatan sehari-hari warga Kebonagung. Membuat tempe, mbuntel (membungkus) sendiri, membikin emping dari buah melinjo dan lainnya.

Bisa pula ikut kenduri, wiwit atau labuh. Anda bisa juga belajar macapat, sholawat, atau jathilan. Bisa menikmati pula alunan musik dari Gejok Lesung. Atau belajar karawitan.

Kenduri berupa doa bersama untuk memperingati peristiwa kehidupan yang dianggap penting seperti mitoni (upacara tujuh bulan untuk bayi), tahlilan (doa untuk orang yang meninggal) dan ngeslupi ( doa untuk memasuki rumah baru). Sedangkan, ritual wiwit (biasa dilakukan sebelum memulai bertanam padi) atau labuh berisi kegiatan memberikan sesajen atau sesembahan yang berisi hasil pertanian. Tujuannya mengucapkan terima kasih atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan serta mohon keselamatan, kedamaian dan kesuburan.

Kemudian di Bendung Tegal yaitu sebuah bendungan yang menampung air dari Sungai Opak yang terletak di ujung desa, tamu bisa mempelajari sistem irigasi. Bisa pula mencoba serunya olahraga dayung atau kano. Atau mencoba Perahu Naga berkeliling Bendung Tegal.

Baca juga:  Pendopo Bupati Meriah, Semarak Tobasa Sambut Vinculos

Selain itu ada batik tulis. Warga Desa Kebonagung juga memiliki kerajinan tangan yang disebut dengan Tatah Sungging, batik Keramik, dan Batik Topeng Kayu. Batik tulis ialah lukisan yang ditorehkan di kain menggunakan malam (lilin) cair. Motif batik biasanya selalu berulang.

Alat-alat yang digunakan juga masih tradisional seperti canting, wajan dan kompor kecil untuk melelehkan malam. Canting digunakan untuk melukis, sedangkan malam berfungsi sebagai tinta.

Tatah Sungging ialah kerajinan yang menggunakan kulit, baik kulit sapi atau kambing. Kulit tersebut diolah menjadi aneka kerajinan seperti wayang, lukisan, topi dan lain-lain.

Sedangkan batik keramik dan batik topeng kayu mirip dengan batik tulis. Bedanya, batik tulis menggunakan kain sebagai media lukis, sedangkan batik keramik menggunakan keramik dan batik topeng kayu memakai topeng sebagai media lukis. Batik membuat keramik tampak semakin menawan karena tidak putih dan polos seperti biasanya.

Pada topeng kayu, batik memberi ornamen yang mempercantik tampilan topeng. Topeng ini biasanya digunakan sebagai hiasan dinding untuk memperindah interior ruangan.

Untuk menikmati semua kegiatan live in di Kebonagung ini tidak bisa dilakukan dalam sehari. Tamu harus menginap. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Kebonagung pun sudah menyiapkan kamar-kamar bagi para tamunya. “Cukup membayar Rp 150 ribu/malam sudah mendapat fasilitas 3 kali makan dan snack, serta aktivitas bersama warga yang ditempati. Snack atau camilan berupa pisang rebus, kacang rebus, peyek dan minum air putih atau wedang uwuh,” tambah Sardi.

Wedang utuh adalah minuman tradisional herbal. Wedang uwuh merupakan ramuan khas dari berbagai bahan lokal seperti daun salam, jahe, kayu manis, cengkeh, sereh, dan kayu secang. Minuman ini disajikan dengan gula batu. Diminum untuk menghangatkan badan dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Baca juga:  Batik Air Buka Rute Jakarta-Labuan Bajo Mulai 15 Desember 2017

Penyediaan makan pagi, biasanya berupa nasi goreng. Kecuali jika ada permintaan khusus.

Makan siang atau malam dengan tuan rumah biasanya berupa sayur lodeh, dengan lauk tempe goreng atau tempe bacem. Pokoknya sayur ndeso khas desa.

Untuk nasi goreng, karena juga dimasak oleh masing-masing tuan rumah maka di Kebonagung ada sebutan Nasi Goreng Rasa Seribu. “Ya, rasanya macam-macam dan beda-beda tergantung tuan rumahnya. Dan itu justru menjadi kekhasan serta keunikan. Masing-masing tamu akan merasakan sesuatu yang berbeda dengan yang lainnya,” tambah Sardi yang pensiunan pegawai hotel.

Wisatawan mancanegara (wisman) sangat senang tinggal di Kebonagung. “Mereka menikmati sekali berbaur dengan warga. Ikut bikin tempe dari kedelai yang dibungkus daun atau membuat emping mlinjo. Kalau malam belajar gamelan atau jathilan. Sekarang kami benar-benar siap untuk menerima tamu. Warga semakin sadar wisata,” tegas Erri Setyawan, tokoh muda Pokdarwis Kebonagung.

Menpar Arief Yahya gembira melihat perkembangan kreatif warga Jogja yang semakin dahsyat. Kesadaran sebagai destinasi wisata semakin tinggi, sehingga menjadi business opportunity. “Di pariwisata itu ada creative value dan financial value. Paling baik, keduanya harus balance,” kata Arief Yahya yang Mantan Dirut PT Telkom itu.

Jogja akan terus berkembang industri pariwisatanya, jika menggunakan digital online system. Kemenpar mempersilakan untuk bergabung dengan ITX Indonesia Tourism Xchange, untuk selling platformnya. Mereka akan langsung terkoneksi dengan global market dan semua travellers dari mana saja. “Silakan bergabung, semua free,” ajak Arief Yahya. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *