JAKARTA, BALIPOST.com – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dianggap mirip lembaga swadaya masyarakat (LSM) karena fungsinya hanya pengusul undang-undang. Penilaian ini dilontarkan pengamat hukum, Ahamd Rivai dalam sebuah diskusi terkait keberadaan DPD.
Menurutnya, jika fungsi DPD bisa diubah, label sebagai LSM tidak akan disematkan ke lembaga ini. “Saya berpendapat memang dari dari dulu ini LSM sebenarnya,” ujar Rivai.
Dia menambahkan, DPD memiliki fungsi untuk mewakili keterwakilan daerah atau otonomi daerah. Seharusnya, lanjut dia, DPD tidak hanya menyarankan, tetapi bisa membuat Undang-undang.?
Saat ini, DPD juga mengalami konflik dualisme kepemimpinan di internal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait proses pergantian pimpinan dilakukan secara inkonstitusional berujung perlawanan hukum. Sejumlah anggota DPD menempuh gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas pelantikan Oesma Sapta sebagai pimpinan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Non Yudisial Suwardi.
Mantan Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas menyatakan, terus berupaya mencari keadilan. Dia menilai, pelantikan yang dilakukan MA cacad dan tidak berkekuatan hukum tetap. “Saya dan 10 anggota DPD lainnya sudah sidang pertama pada 8 Mei lalu. Sekarang sedang berlanjut sidang gugatan di PTUN,” katanya.
Hemas juga telah melaporkan Sekretaris Jenderal DPD Sudarsono Hardjosoekarto kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), karena ikut berpolitik dalam polemik di internal DPD. Seorang sekjen, kata Hemas, tidak boleh melakukan tindakan politis, apalagi mendukung kepemimpinan DPD Oesma Sapta yang dinilai melanggar aturan hukum.
Soedarsno kini tidak lagi memberikan akses dan fasilitas kepada anggota dan pimpinan DPD periodenya. Dia justru mendukung dan melegitimasi kepemimpianan Oesma Sapta yang ilegal. Misalnya seperti penggunaan anggaran dan cara sekjen memfasilitasi baik pimpinan maupun anggota.
Surat meminta penjelasan atas polemik dan masa depan DPD juga dilayangkan Hemas kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Hemas, presiden memiliki hak dan wewenang penuh untuk melakukan upaya mediasi secara politik sebagai solusi dan membenahi DPD yang saat ini dilanda prahara politik. Dia berharap, presiden bisa menerima audiensinya.
Sebelumnya, MA melantik pimpinan baru DPD Oesma Sapta akibat kekosongan jabatan. Proses yang berlangsung turut didukung tata tertib (Tatib) yang sudah dibatalkan MA, termasuk dijadikan dasar bagi DPD untuk memilih tiga pimpinan baru. MA melalui putusan No 38 P/HUM/2016 membatalkan Tata Tertib No 1 Tahun 2016 yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPD sepanjang 2,5 tahun.
Sementara itu, putusan MA No 20 P/HUM/2017 membatalkan Tata Tertib No 1 Tahun 2017 yang memberlakukan surut masa jabatan pimpinan DPD, pada periode 2014-2019. Dengan adanya tata tertib tersebut, masa jabatan Mohammad Saleh selaku ketua dan Farouk Muhammad serta GKR Hemas sebagai wakil ketua, berakhir pada 31 Maret 2017.
Putusan MA, mengartikan masa jabatan Saleh, Farouk, dan Hemas normal kembali dan berakhir pada 2019 sesuai siklus pemilu. Sebab putusan MA No 38 P/HUM/2016 menyatakan Tata Tertib No 1 Tahun 2016 tidak sah karena bertentangan dengan UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), khususnya pada Pasal 260 ayat 1. (kmb/balitv)