JEMBRANA, BALIPOST.com – Wisata Bunut Bolong di Manggissari, Kecamatan Pekutatan, Jembrana menyuguhkan keasrian alam di dataran tinggi. Dengan pesona keunikan jalan ditengah pohon Bunut bolong (berlubang), wisata ini menjadi salah satu obyek unggulan di Jembrana.

Suasana perdesaan dengan perkebunan rakyat ditambah udara yang sejuk menambah daya tarik disini. Selain pemandangan Bunut Bolong, di sekitar lokasi obyek juga banyak menyuguhkan wisata alam.

Wisatawan juga bisa melakukan tracking forest ataupun bersepeda. Di sepanjang rute tracking yang dimulai dari Bunut Bolong itu, para wisatawan melintasi jalan setapak permukiman warga dan perkebunan. Di jalur lintasan tersebut, para pengunjung juga melalui batu palungan atau sarkofagus yang oleh warga sekitar dikenal berkhasiat. Air di tempat tersebut konon bisa untuk tamba atau mengobati.

Baca juga:  Keluar dari Zona Merah COVID-19, Ini Kebijakan Bupati Artha

Di sepanjang track forest itu para pengunjung dapat menikmati pemandangan tebing dan pepohonan yang rimbun. Jalur tersebut kini dikembangkan menjadi tujuan wisata dan sering digunakan untuk kegiatan.

Selain para wisatawan mancanegara, jalur tersebut juga diperkenalkan kepada siswa dan masyarakat pada umumnya. Ketua DPK Peradah Jembrana, I Komang Kurniawan mengatakan sangat mendukung dikenalkannya jalur ini disamping untuk mengembangkan pariwisata daerah, juga bentuk menghargai alam (pelemahan). Belum lama ini, Peradah juga ikut mengenalkan jalur ini mengajak siswa-siswi dan masyarakat serta PHRI Jembrana melalui kegiatan tracking forest Bunut Bolong.

Ketut Naba, salah seorang warga sekitar mengungkapkan kawasan ini kini sudah mulai ditata. Sebelumnya pohon Bunut Bolong yang dilalui jalan aspal untuk satu arah itu konon menurut warga sejatinya tidak berlubang. Baru pada masa penjajahan Belanda pohon bunut yang tinggi menjulang dan lebar ini dilubangi.

Baca juga:  #MudikPenuhPesona ke Banyuwangi? Ini Dia 10 Destinasi yang Wajib Anda Kunjungi

Setelah banyak penduduk yang mulai tinggal di sekitar Manggisari saat masa penjajahan Belanda, untuk memperlancar arus transportasi perkebunan dibuat akses jalan. Saat itu para pekerja pribumi yang dikerjakan oleh VOC membuka akses jalan dari perkebunan hingga ke pelabuhan.

Tetapi sampai di sekitar lokasi Pura, terhalang bunut yang lebar dan berukuran besar. Mereka tidak bisa melintas karena di sisi kiri terdapat jurang, dan di sisi utara terdapat Pura. Akhirnya diputuskan untuk melubangi pohon bunut itu. Sepintas terlihat lubang di bunut itu terlihat kecil, tetapi sejatinya bisa dilintasi truk besar.

Baca juga:  Bali Butuh Manajemen Krisis Kepariwisataan

Dari pengamatan spiritual, sejatinya lubang pohon itu bukanlah pohon melainkan seperti gapura dari bata merah. Bentuknya lazimnya gapura dengan apit lawang. Bahkan sebelumnya, di kanan kiri pohon ini ada pohon kwanitan. Tetapi sekarang hanya tersisa satu.

Konon bila ada orang yang melewati lubang bunut ini, harus permisi. Entah itu pejalan kaki maupun kendaraan. Tidak semua orang boleh melewati lubang bunut itu. Naba menyebutkan bilamana ada rombongan hendak pewiwahan (pernikahan) atau kematian (pitra yadnya), diminta untuk melintasi jalan di sebelah bunut. (Surya Dharma/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *