DENPASAR, BALIPOST.com – Gender wayang merupakan salah satu gamelan tua yang terbilang sulit dimainkan. Namun, hal ini tak menyurutkan minat generasi muda untuk mempelajarinya.

Bahkan, ada yang sudah tertarik dan mempelajari gender sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak (TK). Seperti halnya Ni Made Mas Berliana, salah seorang peserta lomba gender wayang anak-anak di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-39.

“Dulu ayah sama kakak kan megender jadi ingin tahu bagaimana sih rasanya megender. Terus diajarin dari TK, sekarang saya sudah mau kelas 1 SMP,” tuturnya usai pentas sebagai Duta Kabupaten Gianyar bersama tiga rekannya yang lain di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya Denpasar, Sabtu (17/6).

Berliana mengaku sangat senang bisa terlibat untuk pertama kalinya dalam PKB bersama Sanggar Ceraken Batuyang. Kendati awalnya sempat merasa tegang, namun gadis 12 tahun ini tetap bertahan menguji mentalnya.

Baca juga:  Tarik Wisatawan, Desa Ini Andalkan "Setra" Ari-ari

Berliana meyakinkan diri agar terbiasa untuk menambah pengalaman bermain gender. “Latihannya sudah dari bulan Desember 2016 sampai sekarang. Tangan kirinya susah, kalau cepet lagunya,” imbuh pemain kantilan, namun juga fasih memainkan pengede ini.

Walau masih sangat muda, Berliana juga menaruh perhatian pada kondisi gender wayang di Bali. Anak-anak di sekitar pedesaan menurutnya jarang yang memainkan gender lantaran lebih fokus pada pendidikannya.

Terlebih untuk bisa menguasai gender, latihan harus dilakukan secara rutin. Lebih baik lagi jika memiliki alat musik itu di rumah. “Kalau latihan tergantung sesuka kita, kalau ada niat latihan ya latihan aja. Kalau tidak ada niat, tidak,” jelasnya.

Lomba gender wayang anak-anak merupakan salah satu materi wajib dalam PKB Ke-39. Kemarin, Sanggar Ceraken Batuyang (Duta Kabupaten Gianyar) berhadapan dengan Sanggar Reka Adnyana (Duta Kabupaten Bangli) pada sesi pertama. Dilanjutkan sesi kedua antara Pasraman Pinandita Brahma Vidya Samgraha (Duta Kabupaten Buleleng) dengan Sanggar Gender Swari Laksmi (Duta Kabupaten Klungkung).

Baca juga:  Pelaku Penggelapan Sepeda Motor Ditahan di Gilimanuk

Masing-masing peserta membawakan tabuh pategak Selendro, tabuh kreasi, tabuh Alas Arum, dan tabuh Angkat-angkatan.

Tema Ulun Danu utamanya tercermin dari tabuh kreasi yang dibawakan. Gianyar membawakan tabuh kreasi Suluk yang terinspirasi dari sifat air mengalir ke semua penjuru, dan melenturkan diri apabila dibendung oleh benda. Bangli dengan tabuh kreasi Danu Wregsa tentang potensi Danau Batur sebagai destinasi pariwisata dan sumber kehidupan masyarakat di sekitar danau.

Buleleng menyajikan tabuh kreasi Kertha Masa sebagai wujud rasa girang petani karena turunnya air dari atas bukit. Sementara Klungkung menampilkan Windu Segara yang berarti penyatuan antara manusia dan alam laut.

Baca juga:  Sejumlah Festival Seni Budaya Digelar di Bali, Catat Jadwalnya

Salah seorang juri, Wayan Sujana mengatakan, kriteria penilaian lomba gender wayang terletak pada suara gamelan, teknik pukulan, tetekep dan tetekes.

“Itu yang merupakan poin penting dalam lomba ini dan tidak kalah penting juga harus bisa menjiwai dari masing-masing materi yang mereka bawakan, yang terakhir tentu harus ada keharmonisan dari penampilan termasuk busana dan kekompakan dalam memainkan dari masing-masing kriteria yang ada,” ujarnya.

Menurut Sujana, lomba gender wayang anak-anak salah satunya bertujuan untuk regenerasi. Disamping menjaga gender wayang tetap eksis.

“Gender wayang ini termasuk gamelan tua supaya bisa tetap bertumbuh kembang di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Anak-anak kami amati cukup antusias untuk mempelajari karena mereka melihat gender wayang cukup unik dari segi teknik, barungan, dan gending-gending yang mereka mainkan,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *