DENPASAR, BALIPOST.com – Sekumpulan monyet kecil menyerbu Kalangan Angsoka, Taman Budaya, Denpasar yang sudah disulap menjadi hutan imitasi. Disana sudah ada tokoh Tualen, Merdah, dan Abimanyu yang dikisahkan sedang khusyuk bertapa. Bisa ditebak, monyet-monyet kecil dengan tingkah lucunya itu lantas mengusik mereka sampai akhirnya diusir dari panggung.
Penggalan adegan drama tari Kupu-kupu Carum ini sontak mengundang gelak tawa penonton Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-39, Senin (19/6). Suasana hutan lengkap dengan pohon, bunga, serta hewan-hewan di dalamnya tergambar secara utuh. Sama seperti pasukan monyet, kupu-kupu carum juga diceritakan sebagai pengganggu tapa Abimanyu yang ingin mendapatkan anugerah “ayawanggani” dari Bhatara Siwa.
“Kupu-kupu carum tidak sekedar menjadi kupu-kupu yang suka dengan wangi bunga saja. Dia juga sebagai jelmaan widyadara dan widyadari yang datang menggoda tapa Abimanyu. Bisa pula berubah wujud menjadi remaja yang sedang berkasih-kasihan,” tutur pemeran Abimanyu, Nyoman Ayuda dari Sekaa Ende Truna Pandawa, Duta Kabupaten Gianyar ini.
Secara umum, lanjut Ayuda, drama tari Kupu-kupu Carum sebetulnya mengangkat cerita Abimanyu Tapa. Pesan yang diselipkan adalah mengenai ketabahan manusia dalam menghadapi cobaan sampai akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam hal ini, kupu-kupu carum dihadirkan dalam bentuk tarian. Sementara Abimanyu dan tokoh pendukung lainnya ditampilkan dalam wujud kesenian wayang wong.
“Kupu-kupu carum sendiri sudah ada di Ubud kira-kira tahun 30 – an. Sebenarnya sudah lama ini ada, cuma yang order (untuk pentas) itu jarang. Sekitar 10-15 tahun lalu pernah bangkit di banjar, dipentaskan di hadapan wisatawan mancanegara. Tapi hilang lagi karena sponsornya sudah tidak ada lagi,” imbuhnya.
Ayuda menambahkan, masalah sponsor ataupun minimnya permintaan pentas bukan satu-satunya penghambat drama tari ini untuk berkembang. Masalah lain juga menyangkut keinginan generasi muda yang hampir tidak ada dalam menekuni kesenian ini. Utamanya untuk peran-peran dalam wayang wong. Itu sebabnya, wayang wong dimainkan oleh seniman yang sudah dewasa. Anak-anak hanya terlibat menjadi penari kupu-kupu carum dan pasukan monyet.
“Ada bebaturan dalam wayang, nyanyiannya bagaimana kan seperti dalang, jadi disanalah kendalanya bagi generasi muda yang memang tidak mau belajar. Kami sudah berusaha, tapi banyak yang masih belum mampu. Kebanyakan mereka malu karena merasa tidak mampu. Padahal ini kan warisan budaya, apalagi warisan dari tahun sejak lama,” terangnya.
Menurut Ayuda, drama tari seperti itu perlu diarahkan menjadi pertunjukan komersial untuk memacu minat generasi muda. Kalau tidak demikian, kesenian ini bisa saja vakum kembali. Apalagi saat seniman-seniman tuanya sudah tidak ada lagi, akan semakin sulit untuk membangkitkan. Itu sebabnya, pemerintah baik Dinas Kebudayaan maupun Dinas Pariwisata sangat diharapkan untuk memfasilitasi. “Kalau bisa, kalau ada kegiatan untuk seni, ya kita diundang biar semakin terkenal,” tandasnya.
Sementara itu, Pembina Tari Kupu-Kupu Carum, I Made Regung mengatakan, kupu-kupu carum awalnya diiringi instrumen angklung dengan penata tari Pekak Musna dari Banjar Tarukan, Mas, Ubud. Pekak Musna yang juga kakeknya sendiri mendapat ide dari Walter Spies, seorang pelancong asing. Kala itu sekitar tahun 1930an, Walter Spies menyarankan agar angklung digarap dalam bentuk pertunjukan. Carum sendiri adalah tanaman kemangi yang sering digunakan untuk menemani bumbu masakan.
“Di banjar Tarukan, kupu-kupu carum oleh generasi seniman berikutnya dikembangkan dalam dua gaya yakni diiringi dengan gamelan gong kebyar dan juga saat ini dikembangkan dalam bentuk iringan gamelan angklung,” ujarnya.
Regung mengakui, kesenian ini memang sempat ditinggalkan oleh masyarakat. Dalam beberapa generasi sempat dibangkitkan kembali, namun karena berbagai kendala akhirnya tidak mampu dibangkitkan. Sebelum akhirnya menjadi seperti sekarang. (rindra/balipost)