DENPASAR, BALIPOST.com – Selama 20 tahun, Von Hatch (42) belajar, meneliti, sekaligus melatih gamelan semara pagulingan di Bali. Bule asal Selandia Baru ini bahkan merekonstruksi lagi gamelan semara pagulingan yang sempat punah.
Salah satunya tabuh telu, tabuh gari gaya Puri Payangan, Gianyar yang sudah lebih dari 70 tahun tidak pernah dimainkan lagi. “Bisa dibilang saya buduh (tergila-gila) dengan gamelan semara pagulingan,” ujar Von saat melakukan interaktif dengan penonton PKB Ke-39 di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar, Rabu (28/6).
Tepatnya disela-sela pementasan tabuh semara pagulingan klasik tiga gaya oleh Sanggar Mekar Bhuana. Sebuah sanggar di Denpasar yang didirikan Von sejak 2000 lalu, dengan konsep memekarkan lagi gending-gending klasik di bhuana. Yakni bhuana alit atau Bali dan bhuana agung atau semesta.
Menurut Von, masih ada yang kurang dalam penelitian-penelitian tentang semara pagulingan oleh akademisi terdahulu. Sebagai contoh, hanya diketahui ada 2 jenis semara pagulingan yakni semara pagulingan saih (nada) 5 dan saih 7. Padahal, ada pula perangkat semara pagulingan saih 6 yang masih banyak dimainkan hingga awal abad ke-20.
“Di PKB ini kami menampilkan saih 5 karena yang ditampilkan di festival di Bali biasanya saih 7 dan gayanya kebyar, kekinian. Jadi saya ingin agar masyarakat terutama anak-anak muda tahu bagaimana pukulannya dulu yang sederhana, tapi ada lapisan-lapisan suara yang memang tidak terdapat dalam perangkat gamelan lainnya,” jelas pria bernama Bali, Wayan Pon Semara ini.
Von menambahkan, seluruh tabuh yang ditampilkan Sanggar Mekar Bhuana dalam PKB telah melalui penelitian yang dalam dan akurat. Rekonstruksi Tabuh Gari misalnya, dianalisa dari rekaman yang diterbitkan dalam bentuk CD komersial oleh Library of Congress tahun 1996.
Tabuh Gari sendiri terakhir direkam pada tahun 1941 di Teges Kanginan, Ubud. Para penonton bahkan diperdengarkan rekaman tabuh aslinya terlebih dulu. Sebelum akhirnya dimainkan secara langsung oleh anggota sanggar yang didukung pula Sekaa Sik’ru pimpinan I Wayan Purnama Gita.
“Saya ingin mengajak masyarakat untuk lebih mengapresiasi keindahan dan keunikan daripada perangkat gamelan semara pagulingan. Dari segala aspek saya ingin supaya kita tidak belajar sejarah yang salah. Jadi belajar history bukan his story (versinya dia),” imbuhnya.
Von juga berharap institut seni atau sekolah-sekolah seni di Bali lebih memperhatikan gaya (style) semara pagulingan di setiap desa atau kabupaten. Ketimbang hanya membuat gaya sendiri atau mempelajari satu gaya saja. Apalagi ada banyak gaya semara pagulingan. Mekar Bhuana sendiri menampilkan 5 gaya termasuk tabuh gari gaya Puri Payangan, Gianyar.
Empat tabuh lainnya, yakni tabuh telu lasem pegambuhan gaya Kaliungu Kelod, Denpasar, tabuh semarandana gaya Pagan Kelod, Denpasar, tabuh sinom lawe dari Puri Gerenceng, Denpasar, dan tabuh pat suduk maru gaya Kaliungu Kelod, Denpasar.
“Saya tidak mengarang, ada rekamannya, sudah ada buktinya. Pertanyaan saya sekarang, kenapa gaya yang sekarang sangat berbeda? Karena dia pengaruh kekinian, tidak hanya dari segi instrument tapi pelarasan, kepatutan, formasi di kalangan pentas, kemudian sampai pakaian-pakaiannya,” paparnya. (Rindra Devita/balipost)