DENPASAR, BALIPOST.com – Draft Peraturan Gubernur tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK negeri telah diteken oleh gubernur Bali, Selasa (4/7). Draft Pergub kini tinggal menunggu paraf dari Sekda Provinsi Bali untuk selanjutnya diberlakukan. Isi Pergub dengan Nomor 40 Tahun 2017 itu pada intinya mengharuskan calon siswa yang masih tercecer agar ditampung di SMA/SMK negeri.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali, TIA Kusuma Wardhani mengatakan, ada tiga hal penting yang dituangkan dalam Pergub sesuai hasil rapat kerja Gubernur dengan DPRD Bali, Senin (3/7) lalu.
Pertama, semua siswa miskin meskipun nilainya rendah harus diterima di sekolah negeri terkait kebijakan nasional wajib belajar 12 tahun. Pun dengan siswa berprestasi agar diterima tanpa melihat domisilinya, yang menjadi poin kedua.
Terakhir, persyaratan KK bisa diabaikan untuk menampung calon siswa yang masih tercecer. Itu artinya, semua siswa yang sebelumnya gagal diterima di jalur lingkungan lokal atau terkendala zonasi juga harus ditampung. “KK ini yang banyak problem, solusinya diabaikan dengan catatan gubernur membuat surat ke menteri. Sekarang kan ada anak-anak yang dari luar (di luar kabupaten/kota domisili sekolah, red) ternyata tidak diterima. Masak dibiarkan karena KK? Ini harus ditampung,” ujarnya.
Tia menambahkan, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA/SMK juga telah diminta untuk berkoordinasi dengan satuan pendidikan terkait kuota. Sebab, pada saat menggelar rapat Senin malam lalu, para Ketua MKKS belum membawa data tentang itu. “Sekarang (kemarin, red) perekapan karena kita harus menghitung berapa uang yang dibutuhkan kalau seandainya ada bertambah siswa, kan begitu ikutannya,” imbuhnya.
Mengenai rombongan belajar (rombel), lanjut Tia, diijinkan maksimal 40 orang per kelas di daerah-daerah padat penduduk. Rombel yang melebihi ketentuan maksimal 36 siswa ini juga bisa diberlakukan SMA/SMK swasta. Kalau ternyata masih belum bisa menampung seluruh siswa yang tercecer, sekolah diijinkan untuk menerapkan double shift atau melaksanakan kejar paket.
“Seperti di Karangasem ada 200 murid tidak diterima karena tidak ada tempat. Ini harus ditampung di sekolah negeri. Pemerintah tidak boleh membiarkan. Kita berupaya maksimal supaya mereka semua bisa menikmati pendidikan SMA/SMK. Artinya jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan tempat di sekolah, itulah upaya kita sekarang,” tandasnya.
Senada dengan Kadisdik, Kepala Biro Hukum dan HAM Setda Provinsi Bali, I Wayan Sugiada menegaskan bila Pergub memang memberikan keberpihakan kepada siswa miskin. Kendati, siswa miskin tetap harus melampirkan surat keterangan miskin, memiliki salah satu dari Kartu Keluarga Sejahtera/Kartu Indonesia Sehat/Kartu Indonesia Pintar, serta ada home visit oleh satuan pendidikan. Begitu juga siswa berprestasi harus membuktikan prestasinya lewat sertifikat maksimal 3 tahun terakhir. “Begitu Pergub diundangkan, ada nomornya ya langsung berlaku. Itu Pergub No.40 Tahun 2017,” ujarnya.
Dasar Kepala Sekolah
Anggota Fraksi PDIP DPRD Bali, Ketut Kariyasa Adnyana mengatakan, Pergub No.40 Tahun 2017 nantinya bisa dipakai dasar oleh kepala sekolah untuk menerapkan apa yang menjadi kesepakatan Gubernur dan DPRD Bali. Tiga kesepakatan yang tertuang dalam Pergub juga berlaku untuk SMA/SMK swasta.
“Karena kewenangan provinsi SMA/SMK, tentu SMP ini juga harus sama karena kan tidak mungkin kebijakan atau peraturan itu beda-beda nanti aturannya. Apakah nanti bisa mengikat Pergub ini untuk SMP, SMA/SMK, ini tentu walikota, bupati harus mengikuti juga,” ujar Sekretaris Komisi III ini.
Menurut Kariyasa, harus ada keseragaman pendidikan di Bali. Jangan sampai ada perbedaan di satuan pendidikan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Sebab, ketidakseragaman bisa menimbulkan kekacauan. Sementara saat ini ada banyak kasus di masyarakat menyangkut domisili, ataupun sebuah daerah yang ternyata hanya memiliki sekolah negeri dan tidak ada sekolah swasta.
“Kemudian orang tidak punya dipaksa ke sekolah swasta, masak harus dipaksa sekolah? Apalagi sekarang ada sekolah swasta yang biaya pendaftarannya paling sedikit Rp 5 juta. Padahal orang miskin mau sekolah saja sudah bersyukur,” imbuhnya.
Kalau sampai kelebihan siswa, lanjut Kariyasa, double shift dan rombel maksimal 40 siswa bisa dijadikan solusi. Kebijakan ini juga dikatakan paling ditunggu oleh kepala sekolah karena di Permendikbud No.17 Tahun 2017 ada masalah mengenai Dapodik untuk sertifikasi guru.
“Kalau kelebihan mengajar itu kan nanti takutnya mereka tidak dapat sertifikasi. Kedua, siswa tidak lagi dapat dana BOS. Sanksi ini diberikan oleh gubernur sesuai permendikbud. Ketika gubernur sudah mengeluarkan Pergub berarti sanksi itu bisa diabaikan,” tegasnya.
Kariyasa menambahkan, daerah sekelas Bali mestinya memang tidak lagi menghambat seorang anak untuk bersekolah lantaran ada Permendikbud. Kebijakan pendidikan di Bali juga jangan lagi hanya terpaku pada wajib belajar 12 tahun.
“Mestinya sudah mengarah kepada hal-hal yang dibutuhkan masyarakat seperti umpama langka peminat pertanian, itu sudah harus wajib semestinya untuk melestarikan adat dan budaya karena disana akan ada subak, upacaranya, dan melestarikan lingkungan,” tandasnya. (rindra/balipost)