Prof. Rahyuda. (BP/dok)
DENPASAR, BALIPOST.com – Kekuasaan partai politik dalam melegitimasi calon Gubernur Bali dan Calon Wakil Gubenur Bali ke depan harus dikoreksi bersama. Parpol tidak boleh melakukan praktik monopoli dengan hanya mendengar suara dari struktur partai.

Parpol harus mendengar suara krama Bali atau pakraman di Bali yang menjadikan mereka punya predikat politisi. Kinerja partai politik di Bali pun layak dipertanyakan karena ada keenderungan tidak merapat pada kepentingan publik, sehingga aspirasi yang dikelola hanyalah kepentingan personal di lingkaran partai.

Pandangan itu dilontarkan Prof. Dr. Rahyuda, akademisi dari Universitas Udayana, Bali. Dalam perbincangan dengan Bali Post, Jumat (7/7), Prof. Rahyuda secra tegas mengkritisi strategi partai politik di Bali dalam melayani hak-hak politik krama Bali. “Parpol di Bali terjebak pada kepentingan struktur partai bukan mendekat pada aspirasi rakyat atau pakraman Bali. Padahal, pada praktiknya rakyat Balilah yang memberikan mandat kepada mereka untuk mendapat kedudukan politik, termasuk memberian gaji kepada mereka,” tegasnya.

Baca juga:  Dari Pemedek IBTK Besakih Membeludak hingga Mobil Terbakar

Ia mengingatkan menjadi pemimpin Bali tak cukup hanya bermodalkan dukungan struktur partai atau lingkaran kekuasana politik. Kejujuran dan mentalitas positif dan pemahaman terhadap panca satia harus menjadi tolok ukur. “Calon yang tak berpijak pada kreteria tersebut mestinya melakukan intropeksi diri. Segera berbenah,” sarannya.

Ia berharap parpol menyiapkan figur idola bagi rakyat Bali untuk dipilih, bukan memaksa rakyat memilih figur yang tak aspiratif. Ia memastikan gerakan rakyat Bali menolak calon tak layak akan menguat jika partai politik tak segera berbenah.

Pakar ekonomi dan tokoh masyarakat Bali ini mengingatkan sebelum salah langkah, Parpol harus melakukan koreksi dan pemetaan terhadap kandidat pemimpin Bali. Ia hanya mengingatkan agar pemimpin Bali dan politisi yang mengawalnya menjabarkan panca satya.

Baca juga:  Pengecer dan Pengepul Togel Dituntut 10 Bulan

Diuraikannya, Panca Satya yang dirujuk dalam konteks ini adalah pemimpin harus siap ngayah demi Bali secara tulus. Pemimpin harus mendedikasikan jiwa dan raganya untuk Bali, bukan sebaliknya Bali untuk kesejahteraan pemimpinnya.

Selanjutnya, satya yang kedua berkorelasi dengan eksistensi partai politik. Parpol hendaknya merekomendasikan pemimpin yang bisa mengawal pakraman Bali. Kandidat harus konsisten dengan janjinya menjadi pengayom kepentingan Bali, bukan justru menjadi kacung pemilik modal. “Jangan memaksa rakyat Bali memilih figur yang tak aspiratif. Keberpihakan calon terhadap pakraman Bali harus teruji dengan melakukan uji publik sejak dini,” sarannya.

Dukungan calon atas aspirasi krama Bali mengawal lingkungannya harus jelas. “Dimana posisi kandidat terkait reklamasi Teluk Benoa juga harus menjadi salah satu indikatornya. Komitmen terhada lingkungan Bali ini menjadi sangat strategis bahkan akan menjadi penentu menang kalahnya kandidat,” tegasnya.

Baca juga:  Gerindra Beber Alasan Tak Ada di Pertemuan Tolak Sistem Proporsional Tertutup

Satya yang ketiga, versi Prof. Rahyuda adalah bersih secara moral dan beretika. Kandidat tentu jangan sampai menjadi beban bagi masyarakat Bali, karena track recordnya tak mendukung lahirnya kepemimpinan yang bersih dan jujur.

Sedangkan satya yang keempat berkaitan dengan penjabaran Tri Kaya Parisuda, yakni keselarasan pikiran, perkataan dan perbuatan. Kandidat yang tak mamapu mengaktualisasaikan Tri kaya parisuda pasti akan menghadapi rekasi negatif krama Bali.

Sementara satya yang kelima berkaitan dengan komitemen kandidat menjabarkan janji politiknya saat kampanye. Tolok ukur lahirnya pemimpin bali ini tentu harus dipahami politisi. “Politisi jangan merasa berhak atas semuanya atyas kepentingan Bali, karena politisi di Bali sebenarnya dihidupi oleh rakyat Bali,” tegasnya. (Dira Arsana/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *