DENPASAR, BALIPOST.com – Jauh sebelum tahun 1990-an, perdagangan penyu marak di Bali. Tidak hanya itu, penyu dikonsumsi dalam bentuk sate dan lawar. Dan juga digunakan untuk upacara di Bali.
Kekhawatiran terhadap punahnya penyu mulai tumbuh, mengingat penyu adalah binatang purba yang masih ada hingga saat ini. Salah satu upayanya adalah membangun tempat konservasi penyu sekaligus edukasi tentang penyu.
Di selatan Kota Denpasar yaitu Desa Serangan, terdapat tempat konservasi penyu yang diberi namaTurtle Conservation and Education Center (TCEC) diketuai oleh I Made Sukanta. “Perdagangan waktu itu masih tapi sekarang masyarakat mengerti dan paham,” ujarnya.
Sehari-harinya ia bersama pengelola TCEC yang sama-sama berasal dari Desa Serangan merawat telur penyu yang akan menetas. Sukanta menuturkan, di TCEC kini memiliki 95 sarang telur dengan jumlah telur diperkirakan 9.300-an.
Telur penyu yang diperoleh di sekitar pantai dibawa ke tempat konservasi agar tidak dimangsa hewan lain atau terinjak. Telur itu akan menetas 45 – 75 hari, tergantung jenis penyu.
Satu penyu bisa menelurkan ratusan telur. Setelah menjadi tukik, hewan itu akan kembali dilepas ke laut. “Satu penyu rata-rata bisa menghasilkan 100-110 telur, bisa juga sampai 130 telur. Karena penyu tidak sekali bertelur, bisa 3 kali bertelur dalam semusim (1 tahun),” bebernya.
Kini di TCEC selain tempat konservasi dan edukasi, juga ramai dikunjungi wisatawan mancanegara (wisman) untuk melihat proses konservasi penyu. Wisatawan asing yang datang berbagai usia dari anak-anak hingga remaja. (Citta Maya/balipost)