BANYUWANGI, BALIPOST.com – Jumlah kasus perceraian di Kabupaten Banyuwangi masuk dalam urutan ketiga di Provinsi Jawa Timur. Rata-rata, kasus perceraian di Bumi Blambangan tembus sekitar 8.000 perkara per tahun. Dari jumlah ini, salah satunya dipicu faktor TKI.
Yang menarik, dari sekian kasus perceraian yang masuk, seluruhnya bisa diputus di tingkat Pengadilan Agama. Hanya beberapa yang melenggang ke Pengadilan Tinggi Agama Surabaya dalam proses banding. “Banyuwangi masih urutan ketiga untuk perceraian. Nomor satu masih Malang, setelah itu Surabaya,” kata Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Dr. Moh. Rumnesa disela kunjungan ke Pengadilan Agama Banyuwangi, Senin (24/7).
Pemicu perceraian kata dia beragam. Terbanyak dipicu ketidakharmonisan. “Banyak yang hanya masalah sepele, sudah mengajukan cerai,” jelasnya.
Setelah itu, dipicu persoalan ekonomi, suami tak tanggungjawab dan krisis akhlak (perselingkuhan). TKI juga menjadi salah satu pemicu.
Menurutnya, Pengadilan Agama (PA) tetap berusaha mediasi jika ada gugatan perceraian. Hal ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agug (PerMa) No. 1/2016. Isinya, Majelis Hakim wajib melakukan mediasi ketika mendapatkan perkara perceraian. “Prinsipnya wajib mediasi. Jika Hakim gagal, harus dilanjutkan mediasi oleh mediator. Jika tetap buntu, lanjut ke persidangan,” jelasnya.
Dengan fakta ini, pihaknya tak bisa berbuat jika mendapatkan perkara perceraian. Apalagi, sering muncul kasus, saat mediasi, kedua belah pihak tak kompak hadir. Sehingga, selalu gagal.
Sementara itu, khusus di Banyuwangi rata-rata per bulan tembus 400 kasus perceraian. Tahun 2015 jumlah perceraian tembus 5.995 kasus. Tahun 2016, naik 6.144 kasus. Sedangkan tahun 2017, sudah tembus 1.546 kasus. “Di Banyuwangi setiap tahun selalu ada sisa kasus perceraian. Karena kasus terlalu banyak,” kata Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi Mudjito. Kebanyakan kata dia, pemohon perceraian di bawah umur 40 tahun. (Budi Wiriyanto/balipost)