SEMARAPURA, BALIPOST.com – Pertanian garam di Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung yang terkenal dengan kualitas produknya cukup baik terancam punah. Hal itu menyusul jumlah petani yang semakin berkurang. Kondisi tersebut diperparah dengan tak adanya regenerasi.
Berdasarkan pantauan, Selasa (25/7), pertanian garam di kawasan pesisir desa yang juga terkenal sebagai sentra pemindangan ini masih ada. Proses pembuatannya juga masih menggunakan cara tradisional. Dibalik itu, warga yang menggeluti profesi ini semakin berkurang. “Petani semakin sedikit. Yang sekarang ini jadi yang terakhir. Generasi muda tak ada mau menekuni,” ujar seorang petani, Nyoman Renu.
Jika melihat perkembangan, beberapa tahun lalu petani garam mencapai 50 KK. Namun dalam perjalalannya, banyak yang beralih ke pekerjaan lain yang dinilai mampu memberikan penghasilan lebih pasti. Kini, yang tersisa hanya 17 KK. Itu sebagian besar sudah berusia renta. “Sebagian besar sudah beralih ke profesi yang lebih menjanjikan. Yang tersisa sekarang sudah berusia tua. Sulit untuk mencari pekerjaan lain,” tuturnya.
Produksi garam, sambung dia memang cenderung fluktuatif. Saat cuaca baik, per hari kisaran 15 hingga 20 kilogram. Namun saat cuaca buruk, jumlahnya turun drastis, bahkan nihil. Meski demikian, di balik harga jualnya yang tergolong stabil, pertanian ini bisa menjadi penyambung hidup. “Kadang produksi memang turun. Tetapi kalau dilihat, pertanian ini bisa jadi penyambung hidup,” sebutnya.
Kondisi tersebut juga dibenarkan petani, Dewa Ketut Candra. Pertanian bumbu dapur yang bercitarasa asin ini tak lagi dilirik generasi muda. Mereka lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain ke kawasan perkotaan. “Sekarang tak ada penerus,” terangnya.
Sementara itu, khusus untuk harga garam, saat ini mencapai Rp 15 ribu per kilogram. Lebih malah dari sebelumnya yang hanya Rp 7 ribu. “Harga garam naik. Karena produksinya sedikit,” imbuhnya. (sosiawan/balipost)