JAKARTA, BALIPOST.com – Persoalan toleransi dinilai bukanlah hanya menjadi generasi yang hidup saat ini tetapi juga generasi selanjutnya selama proses kehidupan bermasyarakat masih berjalan. Untuk itu, untuk menghidupkan toleransi perlu memupuknya secara terus menerus dari generasi ke gerenasi.
“Semua negara dan bangsa pada dasarnya menginginkan dua hal, yaitu damai dan sejahtera. Tetapi, persoalannya adalah ada orang yang ingin damai tetapi melalui cara-cara kekerasan. Ada yang ingin damai dengan cara perang, dan lain sebagainya,” kata Prof. Anak Agung Banyu Perwita, Ph.D mengawali diskusi “Tolerance and Education: Developing Tolerance as a Way of Life in Indonesia” di The Ary Suta Center, Jakarta, Selasa (25/7).
Bersama Dr.phil Reza Alexander Antonius Wattimena, Banyu menjadi pemenang kompetisi jurnal penulisan yang diselenggarakan ASC untuk Tahun 2017. Keduanya merupakan Tim Dosen Program Studi Hubungan Internasional President University yang menyajikan makalah berjudul Toleransi dan Pendidikan: Mengembangkan Toleransi sebagai Jalan Hidup untuk Menciptakan Bangsa yang Hebat.
Menurut Banyu, dari cara-cara untuk memperoleh kedamaian menurut versi masing-masing itulah, maka intoleransi yang ada di masyarakat masuk mengganggu tatanan kehidupan di masyarakat. Dan pelaku intoleransi, menurutnya bisa dari beragam latar belakang.
Bahkan, seorang pemimpin negara besarpun kadang melupakan toleransi demi untuk mencapai kedamaian yang ingin dicapai sesuai dengan apa yang dimauinya. “Contoh sederhana apa yang dilakukan Donald Trump (Presiden AS) hari ini. Ada ide gila ingin membangun tembok di perbatasan negaranya yang berbatasan dengan Meksiko. Itu dalam keinginan mencari kedamaian karena terusik dengan wilayah Meksiko,” kata Banyu.
Oleh karena itu, Banyu berpendapat toleransi memegang peran penting agar tiap perbedaan entah itu perbedaan yang muncul di dalam masyarakat maupun perbedaan yang timbul antar negara, tetap bisa disatukan. “Karena semangat membangun kebangsaan, membangun nasionalisme itu pada dasarnya untuk mencapai dua tujuan, yaitu peace and prosperity (kedamaian dan Kesejahteraan). Ditengah-tengah itu, diperlukan toleransi untuk mencapainya,” kata Banyu.
Sementara itu, Dr.phil Reza Alexander Antonius Wattimena mengatakan untuk mencapai tujuan negara, perlu gerakan-gerakan dari kelompok-kelompok masyarakat dari yang kecil hingga dalam lingkup yang luas. Apabila gerakan tersebut bisa besar dan berskala nasional, maka nilai-nilai yang ada di masyarakat seperti toleransi bisa dengan mudah disampaikan dan dipahami oleh masyarakat.
“Jadi bagaimana membangun gerakan untuk bisa memberi hal positif. Seperti Ary Suta Center adalah sebuah gerakan. Selama 10 tahun kiprahnya. Inilah adalah gerakan yang memberikan nilai-nilai positif di masyarakat. Saya membayangkan bagaimana bisa membuat banyak center-center. Dari kelompok-keompokm pencerahan inilah lalu kita menjadi gerakan berskala nasional,” kata dia.
Di tempat sama, Putu Gede Ary Suta mengatakan toleransi menjadi topik penting bila bercermin dari persoalan yang ada di masyarakat akhir-akhir. Sebab, dari kegagalan toleransilah sebenarnya paham-paham seperti radikalisme muncul dan berkembang.
“Jadi menjadi kewajiban kita semua agar bagaimana masyarakat memahami toleransi yang kita miliki, strategi melawan gerakan intoleransi. Ini penting kalau kita ingin maju,” kata Ary Suta.
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini untuk menumbuhkan sikap toleransi di masyarakat maka lembaga maupun pihak-pihak berkepentingan jangan pernah lelah untuk memupuknya.
“Oleh karena itu, ini menjadi topik kegiatan kita, bagaimana kita menjadikan diri kita dan lembaga kita sebagai agen mencerdaskan inletejenesi di masyarakat terhadap bahaya intoleran. Kewajiban kita untuk mencerdaskan orang lain akan bahaya intoleran,” kata Ary Suta. (Hardianto/balipost)