DENPASAR, BALIPOST.com – Sebagian gabah yang dihasilkan petani di Bali masih di olah di luar pulau dewata. Salah satu penyebabnya, 90 % usaha penggilingan padi masih menggunakan mesin berkapasitas kecil. Menyikapi masalah ini, Pemprov Bali telah merencanakan pembangunan pabrik pengolahan padi pasca panen di Timpag, Tabanan.
“Memang ada sebagian yang diolah ke luar Bali. Tapi sudah ada rencana untuk membangun pabrik pengolahan di Timpag. Kerjasama dengan perusahaan Satake yang memiliki pabrik penggilingan padi terbesar di Jepang,” ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana di Denpasar, Kamis (27/7).
Menurut Wisnu, direktur perusahaan dari Jepang itu sudah melakukan pertemuan dengan gubernur Bali. Selanjutnya hanya tinggal menindaklanjuti hasil pertemuan, dengan mencari lahan dan memformulasikan bentuk kerjasama. Langkah ini diambil agar kualitas beras semakin bagus, harga yang diterima petani lebih mahal, namun konsumen tetap bisa membeli dengan harga terjangkau.
“Luar biasa nilai investasinya. Tanahnya saja (butuh) 4 hektar, kalau nominal uangnya saya tidak tahu karena yang mengatur nanti Biro Tata Pemerintahan. Katanya bisa mengolah 150 ton gabah menjadi beras per hari. Nanti kita lihat, sedang di survey lokasinya di Timpag,” jelasnya.
Wisnu menambahkan, rencana pembangunan pabrik memang sudah mulai dipersiapkan tahun ini. Namun prosesnya dikatakan masih panjang, sebab ada banyak ijin yang harus dipenuhi usaha atau pabrik penggilingan padi. Mulai dari ijin lingkungan, hingga ijin usaha. “Terutama ijin HO-nya (Hinderordonnantie atau ijin gangguan, red) yang susah karena kan ngeluarin debu dan suara (bising, red),” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Perusahaan Satake, Shoichi Tanaka saat bertemu dengan gubernur mengatakan, mesin yang dipakai dalam pengolahan gabah di perusahaannya memilki kapasitas untuk mengeringkan gabah basah sampai dengan 150 ton per harinya. Tidak hanya itu, gabah yang sudah kering dapat disimpan selama enam sampai delapan bulan dengan menggunakan teknologi Satake. “Dengan demikian tidak akan terjadi penumpukan gabah yang berimbas pada rendahnya harga beli gabah,” ujarnya.
Tanaka menambahkan, beras yang dihasilkan juga akan utuh dan tidak pecah karena kemungkinan rusak hanya sekitar 10-15 %. Sementara pada sistem tradisional, hanya bisa menghasilkan 60 % beras dari padi kering dan kondisi beras banyak yang tidak sempurna. “Teknologi ini akan membantu dalam menjaga kestabilan harga gabah di pasaran. Tidak hanya itu, tidak ada debu yang dihasilkan sehingga teknologi ini benar-benar ramah lingkungan,” jelasnya. (rindra/balipost)