Aliansi BEM se-Bali melakukan aksi untuk meminta hak angket DPR terhadap KPK dicabut. (BP/wan)
DENPASAR, BALIPOST.com – Dukungan terhadap KPK turut menggema di Bali yang disuarakan Aliansi BEM Se-Bali Dewata Dwipa. Para mahasiswa yang tergabung di dalamnya dengan tegas meminta DPR RI mencabut hak angket dewan untuk KPK.

Sekaligus mendukung KPK agar mengusut tuntas segala kasus korupsi yang terbukti merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Termasuk dalam mega proyek pengadaan E-KTP yang menjadi pemantik munculnya hak angket DPR.

Aliansi BEM Se-Bali Dewata Dwipa melihat hak angket ini rawan konflik kepentingan dan pengajuannya bukan merupakan aspirasi masyarakat. Pun kontra produktif dengan semangat pemberantasan korupsi yang saat ini banyak menyeret nama-nama tokoh politik di DPR RI. Terakhir, KPK telah menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi E-KTP.

Baca juga:  Dari Libur Sekolah Batal Diundur hingga Gilimanuk Mulai Diperketat

“Hak angket ini dilatarbelakangi oleh keinginan DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan kasus E-KTP atas nama saksi Miryam S. Haryanto dengan alasan adanya unsur kebohongan dalam kesaksian tersebut. Hal ini tentu tidak etis karena dapat memberikan penilaian negatif dari masyarakat terhadap DPR,” ujar Wakil Presiden BEM Universitas Udayana, Wahyu Pradnyana dalam aksi longmarch mengenai hak angket DPR terhadap KPK di depan gedung DPRD Bali, Kamis (27/7).

Wahyu menambahkan, tindakan DPR untuk membuka rekaman juga bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik. Masyarakat hanya akan memandang hal itu sebagai bentuk tindakan intervensi terhadap KPK. Terlebih, hak angket sebetulnya hanya ditujukan kepada lembaga eksekutif (pemerintah). Sedangkan KPK menurut pasal 3 UU No.30 Tahun 2002 merupakan lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Baca juga:  Ini Hasil Investigasi 5 Pasien Positif COVID-19 Tanpa Riwayat Penularan

“Jikapun DPR ingin mengawasi kinerja KPK, bukankah KPK sudah melakukannya dengan melaksanakan laporan rutin kepada BPK, DPR dan juga presiden. Fungsi pengawasan bisa dilakukan melalui rapat dengar pendapat, tanpa harus memaksakan untuk mengajukan hak angket,” imbuhnya.

Menurut Wahyu, pembentukan pansus hak angket bisa dikatakan cacat prosedur. Pasalnya, ada beberapa fraksi yang tidak mengirimkan anggotanya dalam pansus hak angket yakni Fraksi Demokrat, PKS, dan Gerindra.

“Keanggotaan panitia angket seharusnya terdiri atas semua unsur fraksi sehingga DPR telah mengingkari peraturan yang dirancang sendiri dalam melakukan hak angket ini,” imbuhnya.

Menurut Wahyu, upaya pelemahan KPK sebetulnya telah terjadi 3 kali melalui revisi UU KPK. Salah satu tujuannya untuk menghapus kewenangan penyadapan. Kemudian, sudah ada 17 kali upaya pengajuan judicial review mengenai UU yang mengatur tentang kewenangan KPK. Upaya ini tidak jarang dilakukan oleh oknum yang tersangkut kasus korupsi. Selain itu, ada pula upaya intervensi dalam rekrutmen karyawan penyidik KPK dan upaya kriminalisasi serta teror terhadap penyidik seniornya.

Baca juga:  Dari Tak Dongkrak Kunjungan Wisatawan Tiongkok hingga Truk Terguling

“Jika melihat latar belakang, prosedur dan kenyataan di lapangan tentang sepak terjangnya yang dilakukan oleh Pansus Angket KPK, wajar bila masyarakat menilai hal tersebut sebagai upaya intervensi ataupun dapat mengarah pada pelemahan KPK,” tandasnya seraya mendesak Presiden RI untuk bersikap tegas dalam menyikapi kondisi hukum dan keadilan demi menjawab keresahan rakyat Indonesia. (rindra/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *