DENPASAR, BALIPOST.com – Pembuatan makanan tidak sehat atau tidak memenuhi ketentuan (TMK) belakangan semakin marak. Tidak hanya pembuatan cincau yang nonhigienis, juga pembuatan nasi bungkus hingga menyebabkan keracunan massal.
Dari penelitian yang pernah dilakukan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Universitas Udayana tentang pangan, sebagian besar sampel yang diteliti tidak memenuhi syarat. Rinciannya ditemukan 137 sampel mie basah yang tidak memenuhi syarat dari 213 sampel, 97 sampel tahu tidak memenuhi syarat dari 290 sampel tahu, dan 68 sampel ikan tidak memenuhi syarat dari 258 sampel ikan.
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Denpasar telah beberapa kali melakukan uji sampel terhadap makanan yang dicurigai. Bahkan BBPOM membentuk pasar aman agar pasar dapat secara mandiri melakukan pengawasan terhadap dirinya sendiri.
Dosen IKM Unud, I Nengah Sujaya, PhD., menilai pemerintah memang memiliki keinginan yang baik untuk keamanan pangan melalui pranata sistem dan peraturan sehingga pengawasan mutu berimplikasi pada kesesuaian standar makanan. Namun implementasinya tidak berjalan dengan optimal, karena keterbatasan SDM.
Sehingga untuk menjamin keamanan makanan, masyarakat harus dilibatkan. “Masyarakat harus diedukasi, pembuatan makanan dan pemilihan makanan harus memperhatikan nilai gizi, mempertahankan kealamiahan pangan,” tandasnya.
Edukasi yang dilakukan juga tidak berdampak optimal pada masyarakat untuk tidak menggunakan bahan berbahaya pada makanan. Berdasarkan hasil penelitian mahasiswa IKM Unud, pasar aman yang dibentuk BBPOM di beberapa pasar menunjukkan tidak ada perbedaan penggunaan zat warna antara pasar aman dan pasar tidak aman. “Walaupun masyarakat sudah diedukasi tapi tidak diterapkan. Maka dari itu harus ada sanksi. Seperti pasar aman di Sanur sanksinya tidak boleh menjual makanan tersebut dalam kurun waktu tertentu,” sarannya.
Masyarakat juga harus diedukasi betul karena masalah pangan yang tidak secara langsung menyebabkan orang sakit. Dikatakan di negara maju, untuk memproduksi makanan harus memiliki lisence dan diawasi secara ketat.
“Misalnya di negara maju untuk membuat warung atau restoran harus ada surat izinnya. Artinya dia mempunyai pemahamanan yang memadai untuk mengolah bahan makanan sehingga menjadi bahan makanan yang aman, sehat dan enak. Kalau di negara kita, siapa saja boleh membuat makanan, asalkan mau, sehingga pemerintah harus mengontrol,” tuturnya.
Bali sebagai daerah pariwisata yang merupakan jendela dunia juga harus memikirkan apa yang dikonsumsi oleh wisatawan. Selain mengeluarkan sertifikat sehat untuk tempat makan, pemerintah juga diharapkan mengawasi secara rutin. Namun permasalahan yang dihadapi adalah keterbatasan SDM untuk pengawasan. (Citta Maya/balipost)