DENPASAR, BALI POST.com – Paham sila pertama pancasila kini mulai dirongrong oleh paham radikalisme. Upaya ingin menyeragamkan ini kemajumakan ini terus dilakukan oleh sejumlah oknum yang mengatasnamakan agama.
Keinginan merubah paham pancasila, yakni berbeda-beda tetap satu jua harus segera diobati, sehingga kesatuan NKRI tetap terjaga. Hal itu terungkap dalam diskusi budaya serangkaian HUT ke-69 Bali Post. Kegiatan yang bekerjasam dengan Institute Seni Indonesia (ISI) Denpasar, diselenggarakan di auditorium setempat, Jumat (4/8).
Diskusi budaya yang mengambil tema “Memaknai Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Membangkitkan Nasionalisme” dihadiri sejumlah pakar budaya, seperti Rektor ISI Denpasar Prof. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum., Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI, Prof. Ketut Widnya, IB Yudha Triguna dari UNHI, AA Agung Suryawan dari Paikertan Krama Bali, dan praktisi lainnya.
Prof. Ketut Widnya, mengatakan paham radikalisme seperti wabah penyakit yang telah menyebar keseluruh sendi-sendi negara. Bahkan, berdasarkan data yang ada paham radikalisme telah merasuki di 19 provinsi di Indonesia. “Kita di Indonesia sangat marah dengan paham tersebut. Istilahnya radikalisme semacam penyakit yang sudah menyebar dan sulit diatasi, bahkan sudah menjalar ke lembaga resmi,” ungkapnya.
Menurutnya, manusia tidak ada yang berkeinginan dilahirkan di Bali, Lombok, Jawa. Sebab, kelahiran itu adalah takdir yang tidak dapat ditolak. “Kita tidak ingin dilahirkan di Bali, Jawa, Lombok, tapi ini sudah takdir tidak bisa kita lawan, tapi ada upaya melawan takdir dengan ingin melakukan penyeragaman, paham ini yang harus kita lawan,” tegasnya.
Dia berharap, melalui diskusi kebudayaan tersebut memberikan solusi bagaimana menjaga keberagaman dalam satu bingkai, yakni pancasila. “Mudah-mudahan lewat dikusi ini ada solusi bagaimana menjaga keutuhan NKRI,” tegasnya lagi.
Gede Arya Sugiartha, menyebutkan upaya memperkuat nasionalisme atau rasa kebangsaan, dapat dilakukan dengan memunculkan sifat-sifat positif manusia Indonesia. Salah satu caranya adalah membangkitkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang tertanam dalam budaya. “Membangun budaya berarti membangun karakter manusia agar bertingkah laku baik dalam tatanan kehidupan bersama,” katanya.
Hal itu dikarenakan kebudayaan merupakan sistem kognitif yang dipergunakan untuk mengatur tingkah laku. “Bangsa Indonesia telah lama terjerumus dalam cara berpikir logosentris yang hanya menganggap ilmu dan pengetahuan sebagai tulang punggung pembangunan semesta,” pungkasnya. (Parwata/BaliPost)