DENPASAR, BALIPOST.com – Babi merupakan satu-satunya komoditas ternak yang diekspor oleh Indonesia. Bahkan berdasarkan data Juli 2016, ekspor babi ke Singapura saja mencapai Rp 350 miliar.
Hal ini, dikatakan Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS, Jumat (4/8), merupakan peluang bagi Indonesia khususnya Bali. Hanya saja, pemerintah belum menaruh perhatian serius terhadap komoditi ini.
Populasi babi di Bali saat ini lebih dari 300.000 ekor dengan sistem peternakan rakyat yang hanya memelihara 1-2 babi. Skala usaha babi tersebut masih berskala kecil dan dijadikan usaha sampingan bagi masyarakat.
Namun dari populasi babi itu, 70-80 persen masyarakat perdesaan memelihara babi Bali yang terkenal dengan citarasanya yang gurih. “Sedangkan peternakan sebagai usaha industri sedikit sekali,” imbuhnya.
Sejak merebaknya kasus penyakit MSS di Bali, diakui peternakan babi di Bali sedikit agak lesu karena harga jualnya berfluktuasi. “Bahkan saat hari raya Galungan belum lama ini, yang biasanya harga babi naik, kali ini harganya rendah yaitu Rp 25.000/kg,” ujarnya.
Harga tersebut dinilai rendah karena BEP peternak seharusnya Rp 28.000 per kilo. “Mestinya harga babi paling tidak Rp 27.000 hingga Rp 28.000, kalau Rp 30.000 peternaknya untung. Di bawah Rp 25.000, peternaknya pakpok,” ungkapnya.
Meskipun babi di Bali tidak diekspor langsung ke luar negeri, tapi sebagian dikirim ke Pulau Jawa, namun Bali memiliki potensi untuk pengembangan peternakan babi. Babi Bali mulai mendapat pasar. Namun persediaannya justru kurang, padahal permintaan semakin banyak.
Permintaan semakin tinggi karena banyak turis menginginkan babi guling dengan bahan baku babi Bali. Permintaan tersebut datang dari turis yang menginap di Bali dan permintaan masyarakat lokal.
“Sebenarnya peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan ternak babi. Mulailah gemar lagi memelihara babi Bali karena dari segi citarasa memang enak,” tuturnya.
Hanya saja dari segi pertumbuhan lebih lambat dari babi ras, karena pengaruh genetik. “Tapi kalau babi Bali diberikan pakan yang bagus dari segi kualitas dan kuantitas, produksinya bisa meningkat walau tidak bisa menyamai babi ras,” pungkasnya.
Persyaratan ekspor yang cukup ketat menjadi kendala peternak babi. Baru Singapura, negara tujuan ekspor Indonesia. Singapura memilih Indonesia karena dari segi jarak cukup dekat sehingga kualitas kesegaran daging terjaga.
Selain masalah harga, peternak babi juga kerap mengalami kendala penyakit babi yaitu diare hingga menyebabkan babi meninggal dan populasinya berkurang. Peternak skala kecil juga masih kurang teredukasi dari segi sanitasi lingkungan, manajemen kesehatannya juga relatif masih kurang. “Peternakan skala kecil disamping awam juga kemampuan finansialnya kurang, tapi peternak tingkat menengah sudah relatif bagus,” pungkasnya. (Citta Maya/balipost)