TULUNGAGUNG, BALIPOST.com – Tradisi Ulur-ulur hingga kini masih terus digelar oleh warga Tulungagung. Ritual jamasan patung Dewi Sri dan Joko Sedono ini diyakini warga sekitar dapat menjaga kelestarian alam dan sumber mata air di Telaga Buret. Sumber mata air yang tidak pernah kering meski di musim kemarau ini selalu menjadi jalan kehidupan bagi warga sekitar.
Ritual ulur-ulur ini diawali dengan berjalan kaki sejauh tiga kilometer dari balai Desa Sawo menuju Telaga Buret yang terletak di pinggiran Desa Campurdarat, Kecamatan Campurdarat. Warga yang mengikuti ritual ini memakai busana adat Jawa serta membawa berbagai sesaji dari hasil bumi.
Sesampai di lokasi, seorang ibu menjamasi atau memandikan sepasang patung yang diyakini sebagai patung Dewi Sri dan Joko Sedono. Keduanya merupakan simbol kemakmuran kaum petani.
Konon ceritanya, Telaga Buret bermula dari pengembaraan sepasang suami istri yang membawa anaknya yang tengah kehausan di tengah hutan. Melihat kondisi anaknya yang kritis, sang suami yang dikenal dengan nama Mbah Jigang Joyo kemudian menggali tanah dan berdoa kepada sang pencipta. Tiba-tiba dari galian itu muncul sumber air yang semakin hari semakin membesar hingga menjadi sebuah sumber mata air.
Menurut Sesepuh di desa itu, Triman, tradisi Ulur-ulur ini bertujuan untuk melestarikan budaya leluhur dan sebagai ungkapan rasa syukur kapada Tuhan yang Maha Kuasa. Tradisi ini sebenarnya sudah ada sejak zaman nenek moyang namun baru diformalkan sekitar 1993 lalu.
Dengan limpahan air Telaga Buret, sawah warga di empat desa dapat teraliri air meski di musim kemarau sehingga para petani dapat hidup sejahtera. Tradisi Ulur-ulur yang digelar setiap tahun sekali ini ternyata juga mengundang perhatian ratusan pengunjung.
Salah satu pengunjung, Evi Wahyuni, mengatakan ia sengaja datang ke Tulungagung untuk sekedar ingin melihat langsung tradisi Ulur-ulur.
Empat desa yang merasakan langsung jernihnya Telaga Buret ini adalah Desa Sawo, Gedangan, Ngentrong, dan Gamping. (kmb/surabayatv)