ATAMBUA, BALIPOST.com – Deja Vu Jamrud dan Cokelat. Frasa itu sepertinya cukup tepat untuk menggambarkan suasana Crosssborder Festival di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Siapa sangka, setelah sukses ‘membakar’ animo masyarakat Atambua dan Timor Leste 2016 silam, Jamrud dan Cokelat bakal kembali ke Atambua. Tentu nuansa kali ini akan dibuat beda dengan tahun lalu.
Ya, Jamrud dan Cokelat bakal kembali diboyong Kementerian Pariwisata ke crossborder area di Atambua. Kesuksesan menyedot sekitar 25 ribu penonton di 2016 menjadi bahan bakar utamanya.
Saat itu, Jamrud dan Cokelat yang manggung di dua waktu berbeda sukses mendatangkan banyak penonton. Tak hanya Atambua dan sekitarnya. Wisman asal Dili, Timor Leste, juga ikutan menyeberang ke Atambua dalam jumlah yang tidak sedikit.
Nah, di 2017 ini, dua band itu digabungkan dalam satu panggung. Dua-duanya manggung di waktu yang sama. Jamrud dan Cokelat bakal sama-sama tampil di festival bertajuk Wonderful Indonesia Crossborder di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 27 Agustus 2017 di Lapangan Simpang Lima, Atambua – Kab. Belu, NTT.
”Even ini untuk mendukung Nawacita Presiden Jokowi dan juga menjaring lebih banyak wisatawan mancanegara (wisman) asal Timor Leste. Ini sekaligus meningkatkan aktivitas industri pariwisata di kawasan perbatasan,” ujar Deputi Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara Kemenpar, Esthy Reko Astuti. Saat didampingi Kabid Promosi Wisata Buatan, Ni Putu G. Gayatri, Rabu (23/8).
Esthy menambahkan, perhelatan ini merupakan rangkaian kegiatan Penyelenggaraan Festival Crossborder Atambua di tahun 2017 yang terus konsisten digelar oleh Kemenpar. ”Ini daerah paling dekat dengan perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste. Ada pintu perbatasan Mota’ain yang menghubungkan antara Indonesia dengan Timor Leste. Jadi sangat berpotensi mendatangkan wisatawan,” ujar Esthy yang diamini Gayatri.
Lantas mengapa harus Jamrud dan Cokelat? Kenapa juga Kementerian Pariwisata dan Pemkab Belu sampai mau repot-repot memboyong dua band papan atas Indonesia itu ke crossborder area? “Karena basis penggemar mereka di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste sangat kuat dan solid. Bahkan boleh dibilang fanatik,” ungkap wanita berkerudung itu.
Dan Esthy tak asal bicara. Saat tampil terpisah di 2016 silam, Atambua langsung heboh diserbu sekitar 25 ribu penonton. Detak ekonominya berdetak sangat kencang. Hotel, pedagang kecil, rental mobil, restoran, semuanya panen raya.
Bagi Menpar Arief Yahya, membalut wisata perbatasan lewat musik memang sangat pas. Atambua yang tadinya sepi kini mulai dilirik wisman Timor Leste. Kota yang tadinya menjadi pusat penampungan pengungsi dari Timor Timur saat 1999 itu sudah naik kelas. Artis-artis tampil di sana tak lagi didominasi band-band lokal ataupun bintang kelas dua nasional. Semua sudah artis papan atas Indonesia.
“Musik itu universal. Dan kebetulan, Jamrud dan Cokelat punya basis fans yang besar di Atambua dan Timor Leste. Untuk menciptakan crowd memang perlu bahasa universal dan musik adalah salah satu jawabannya. Bahkan saat launching event daerah yang berskala nasional, Kemenpar selalu menyisipi musik berkelas dengan home band Purwacaraka. Kekuatan musik sangat dahsyat,” tutur Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI.
Pria peraih penghargaan “Marketeer of the Year” 2013 tersebut memang sudah sering membuktikan keampuhan musik di wilayah perbatasan. Di Atambua, Kemenpar sukses mendatangkan ribuan wisman Timor Leste setelah memboyong Juara Rising Star Indonesia Andmesh Kamaleng dan Mahadewi akhir bulan Juni yang lalu.
Hasilnya, penonton dibuat terkesima. Masyarakat Atambua, Malaka, Timur Tengah Utara hingga wisman Timor Leste terlihat sangat senang. Semua menyisakan cerita indah di media sosial dan diviralkan kemana-mana.
“Tunggu apalagi. Tanggal 27 Agustus 2017 Jamrud dan Cokelat siap menghentak mulai jam 7 malam waktu setempat. Ayo berwisata ke ke Atambua,” promosi Menpar Arief Yahya. (kmb/balipost)