JAKARTA, BALIPOST.com – Empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka memohon kepada lembaga peradilan konstitusi itu agar diperlakukan sama dengan kepala daerah dalam hal syarat keharusan mundur dalam pencalonan di pilkada maupun pemilu.

“Posisioning dan ruangnya memang berbeda, tetapi ini atas nama kesetaraan (equality before the law) sebagai suatu kebenaran,” kata anggota DPD Ahmad Muqowam di Komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (25/8).

Bersama Muqowam, anggota DPD RI lainnya akan mengajukan uji materi antara lain Mumahammad Mawardi (daerah pemilihan Kalteng), Abdurrahman Lahabato (Maluku Utara), M. Syukur (Jambi), Intsiawati Ayyus (Riau), A. Kanedi (Bengkulu) dan Taufik Nugroho Anggota DPRD Barito Utara.

Ketentuan keharusan mundur itu terdapat dalam UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Muqowam berharap MK dapat membatalkan ketentuan yang mengharuskan syarat keharusan mundur bagi anggota DPR, DPD, DPRD maupun aparatur sipil negara (ASN) seperti polisi dan anggota TNI.

Baca juga:  ASN Harus Jaga Netralitas, “Like” Foto Paslon akan Diganjar Sanksi

Muqowan memastikan uji materi yang dimohonkan telah sesuai dengan syarat-syarat yang diatur atau telah memenuni legal standing permohonan uji materi sesuai Pasal 51 ayat (1) UU MK. Yaitu pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau Hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

“Kami para pemohon I s/d VI kebetulan anggota DPD RI merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas jaminan dan perlindungan hukum yang adil, hak atas persamaan kesempatan dalam pemerintahan, dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif atas ketentuan Pasal 7 ayat (2) hurus s UU 10/ 2016 berdasarkan penalaran yang wajar,” katanya.

Lebih jauh, Muqowan mengatakan pada dasarnya DPR, DPD dan DPD sebagai lembaga perwakilan atau parlemen adalah lembaga politik, sama seperti kepala daerah dan presiden sebagai lembaga pemerintahan atau eksekutif. Karena kedua lembaga ini terkait dengan pengelolaan negara dan berurusan dengan kebijakan publik.

Oleh karena itu, secara teori dikenal Jabatan Publik Politik dan Jabatan Publik Eksekutif. Jabatan Publik Politik, adalah jabatan publik yang ditetapkan melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat (election) mulai dari DPRD Kabupaten/ Kota, Bupati/ Wakil Bupati, Walikota/ Wakil Walikota, DPRD Propinsi, Gubernur/ Wakil Gubernur, DPD RI, dan DPR RI.
Sedangkan Jabatan publik eksekutif antara lain ditetapkan melalui Pengangkatan (appointee) meliputi dikategorikan ASN, Kepolisian Negara dan TNI.

Baca juga:  Bagaimana Teknis Memilih?

“Oleh karena itu, para Pemohon memohon pada MK agar mampu memberikan putusan sesuai jiwa konstitusi (soul of constitution) yang secara political science benar dan dapat dipertanggung jawabkan dalam bingkai negara hukum,” katanya.

Oleh karena itu, mengingat jabatan publik politik adalah menjadi ruang publik politisi, seharusnya sepanjang masyarakat masih memilih dalam pemilihan umum tidak ada halangan, apalagi mundur misalnya. Dengan demikian, ia menegaskan ketentuan UU 10/2016 yang menentukan bahwa anggota DPR, DPD, dan DPD harus mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah, bersifat diskriminatif karena memperlakuan berbeda antara anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagai pejabat publik politik dengan kepala daerah (incumbent) yang juga berkapasitas sebagai pejabat publik politik.

Baca juga:  Membandel, Tim Gabungan Kembali Tertibkan Pedagang Berjualan di Fasum

Padahal, baik anggota DPR, DPD dan DPRD dan kepala daerah sama sama dipilih dalam pemilihan (election). Tetapi mengapa bagi kepala daerah yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya tidak wajib mundur.

Sedangkan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya, harus mengundurkan diri. “Disinilah letak diskriminasi tersebut. Dalam kapasitas yang sama diperlakukan berbeda. Maka pemohon memohonkan agar ketentuan anggota DPR, DPD, dan DPRD harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah dinyatakan inkonstitusional,” tegasnya. (Hardianto/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *