JAKARTA, BALIPOST.com – Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai mengungkapkan pengelolaan rumah aman (safe house) milik Kmisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak pernah melibatkan LPSK. Padahal, kewenangan pengelolaan safe house berada di bawah kewenangan LPSK.
“Ada saksi yang dilindungi oleh KPK tanpa ada koordinasi dengan LPSK. Dan, ternyata banyak juga informasi yang kita ketahui sekarang, ada beberapa juga saksi yang ternyata dilindungi sendiri oleh KPK,” kata Abdul Haris Semendawai dalam rapar dengar pendapat umum (RDPU) dengan Pansus Angket KPK DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (28/8).
Abdul Haris menekankan bahwa pihaknya selalu melakukan koordinasi dalam setiap kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) yang ditangani oleh KPK. Namun, yang didapat ternyata saksi KPK seringkali tidak direkomendasikan untuk dilindungi oleh LPSK. Padahal LPSK memegang mandat perlindungan saksi dan korban seperti yang diamanatkan oleh UU.
“Nah oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, kami pun mengimbau kepada saksi, kepada siapa pun yang memang butuh perlindungan khususnya saksi, pelapor, atau JC (justice collaborator) untuk mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK,” kata Abdul Haris.
Soal saksi KPK ini, Samendawai mengaku kerap menjemput bola langsung menjemput saksi, namun tidak semua saksi berkenan dilindungi. Di sisi lain, justru ada yang datang ke LPSK minta dilindungi, ada pula yang direkomendasikan KPK.
“Jadi misal kita melihat kalau pemberitaannya sudah kita bisa mengetahui bahwa ada saksi yang terancam biasanya kami jemput bola dan kami tawarkan perlindungan. Banyak yang mereka kemudian mengikuti saran kami kemudian potensi ancaman mereka tidak terjadi,” lanjut dia.
Abdul Haris berharap KPK melibatkan LPSK dalam pengelolaan safe house, sebab tanpa melibatkan LPSK maka lembaga yang dipimpinnya tidak bisa mengevaluasi keberadaan rumah aman milik KPK. “LPSK tidak terlibat dalam operasional safe house (rumah aman) KPK, kita nggak tahu juga apa pertimbangannya, jadi kita tidak bisa mengevaluasi,” ujarnya.
Sejauh ini, Abdul Haris mengatakan ada nota kesepahaman (MoU) antara LPSK dengan KPK, tapi MoU tersebut sudah habis di tahun 2015 lalu dan saat ini dalam proses perpanjangan. “Sementara untuk nota kesepahaman baru LPSK-KPK, masih dalam proses untuk diperpanjang kembali,” katanya. (Hardianto/balipost)