JAKARTA, BALIPOST.com – Pernyataan tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi dinilai aneh. Peraih Nobel Perdamaian untuk hak asasi manusia (HAM) itu juga dipertanyakan karena bersikap diam atas kekerasan yang dilakukan militer Myanmar, dan justru meminta dunia internasional, termasuk Indonesia tidak ikut campur dalam kejahatan kemanusiaan etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar.
“Kami mempertanyakan kenapa Aung San Suu Kyi, sang peraih Nobel Perdamaian, diam? Apakah beliau takut kehilangan banyak suara dalam pemilihan umum atau sesungguhnya kelompok pro-demokrasi Myanmar pun punya kecenderungan rasis?” kata Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari di Jakarta, Sabtu (2/9).
Seperti yang dilansir BBC, Suu kyi mengaku terganggu dengan sikap negara lain termasuk Indonesia terkait masalah ini. Suu Kyi menganggap beberapa negara terlalu ikut campur atas masalah yang terjadi di negaranya. Suu Kyi mengatakan persoalan Rohingya adalah masalah dalam negeri mereka.
Di sisi lain, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Sekjen PBB Antonio Guterres pada Jumat, (1/9) memperingatkan pemerintah Myanmar soal kejahatan kemanusiaan menyusul pembunuhan terhadap sekitar 400 orang etnis Rohingya belum lama ini. Menurut Antonio, pembunuhan massal tersebut merupakan bencana terburuk kejahatan kemanusiaan.
PBB mendesak agar operasi militer Myanmar membunuhi etnis Rohingya termasuk bayi dan anak-anak segera dihentikan. Akibat kekerasan tentara Myanmar, ribuan penduduk Rohingya mencari suaka, sebagian melarikan ke negara terdekat seperti Bangladesh dan sebagian lagi ke negara-negara di kawasan termasuk ke Indonesia seperti Kamp Pengungsi etnis Rohingya di Aceh.
Bahkan, Presiden Joko Widodo saat bertemu Aung San Suu Kyi
disela-sela KTT ASEAN ke 30 d Filipina, pada 29 April 2017 lalu, sempat menekankan kepada Suu Kyi tentang perlunya kedamaian di Rakhine, Myanmar. Presiden Jokowi berharap Rakhine bisa berkembang menjadi sebuah wilayah yang maju secara inklusif dan tidak ada diskriminasi.
Menurut Kharis, Indonesia harus mengetuk hati negara-negara dunia untuk segera membantu etnis Rohingya dan mendesak pemerintah Myanmar menghentikan kejahatan kemanusiaan ini. Untuk itu, ia mengajak dunia internasional untuk mendirikan institusi dan mekanisme pendanaan khusus untuk menangani persoalan Rohingya. “Indonesia perlu mendorong gagasan tentang pendirian sebuah institusi atau mekanisme pendanaan global untuk pengungsi Rohingya. Namun, hal ini harus dibarengi dengan upaya untuk menyelesaikan akar dari krisis Rohingya ini, yaitu eksklusi dan diskriminasi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar,” pinta Kharis.
Dalam komunitas kawasan, Kharis menyebut masalah Rohingya menjadi bagi negara-negara ASEAN di mana Myanmar masuk dalam keanggotaan ASEAN. Melalui diplomasi, ASEAN perlu menekan Myanmar untuk mengakhiri persekusi warga negaranya sendiri. “Harus ada upaya diplomatis untuk membuat pemerintah Myanmar merasa bahwa keuntungan melanjutkan persekusi jauh lebih kecil dari biaya yang harus ditanggung oleh pemerintahnya jika terus melanjutkannya. Tentu saja, hal ini merupakan ujian bagi ASEAN yang terkenal dengan norma,” tegasnya. (Hardianto/balipost)