MANGUPURA, BALIPOST.com – Peternak ulat sutra kewalahan melayani permintaan benang sutera. Bahkan bahan baku sutera yang minim membuat para penenun memilih benang sutra buatan Cina. Harga yang murah dan cepat didapat menjadi alasan.
Di Indonesia, kebutuhan benang sutra tinggi yaitu 900 ton benang sutera atau 7.200 ton per tahun. Di Bali sendiri kebutuhannya 3-4 ton. Namun hingga kini kebutuhan benang sutra di Bali baru bisa terpenuhi setengahnya yaitu 1,2 ton – 1,5 ton.
Demikian diungkapkan Kordinator Persutraan Alam Bali, Tri Edy Mursabda, Senin (4/9). Satu kepompong yang dipintal menghasil serat filamen 1.200 meter. Itulah yang menjadi benang sutra. “Permintaan banyak cuma belum bisa memenuhi permintaan karena bahan baku terbatas, kita sendiri kekurangan bahan baku,” ujarnya.
Kekurangan bahan baku benang sutra juga membuat penenun membeli benang sutera Cina. “Padahal kalau kita lihat kondisi lahan di Bali banyak yang tidak terpakai. Sebetulnya kalau mau digarap, bisa terwujud budidaya ulat sutra. Pohon murbey bisa tumbuh dimana saja. Artinya tidak terikat suhu ketinggian kecuali ulat sutranya,” jelasnya.
Budidaya ulat sutra dapat dilakukan di daerah ketinggian 400-800 dpl, suhu 24-28 derajat, kelembapan 70-80. “Tidak terlalu kering tidak terlalu basah, sejuk hawanya,” imbuhnya.
Wilayah seperti itu ada di beberapa wilayah di Bali yaitu Payangan, Gianyar, Petang, Badung, Marga dan Baturiti, Tabanan, Yangapi, Bangli.
Bahan baku yang terbatas dikarenakan pembibitan ulat sutra masih kurang. Di Indonesia pembibitan di Candiroto dan Sopeng saat ini masih kurang karena kedua BPUS ini kondisinya pasang surut. “Artinya kadang bibit telurnya bagus kadang ada yang tidak bagusnya,” ungkapnya.
Pemerintah pun sudah membuka peluang bagi wilayah baik provinsi atau kabupaten untuk membuat pembibitan telur ulat sutera. Hal ini telah diatur oleh kementerian KLHK dalam pengadaan dan peredaran telur ulat sutra. Tujuannya agar tidak berimbas ke pembudidaya ulat sutra atau kelompok peternak ulat sutera. “Oleh karena itu diijinkan membuat pembibitan telur ulat sutra,” tandasnya.
Ulat sutra selain diambil seratnya untuk membuat benang sutra, bagian pupanya bisa dikonsumsi. Di Makassar, Sulawesi, pupa di ekstrak menjadi tepung. Di Bogor menjadi serelak, dan di Cina pupa digoreng. Ia sendiri memanfaatkan pupa sebagai pakan ikan. Sehingga tidak ada bagian ulat sutra yang terbuang.
Ada sekitar 10 orang yang mengerjakan budidaya ulat sutra di tempatnya yaitu di Desa Sibang Kaja yaitu, 2 orang mengelola benang, 2 orang mengelola ulat sutera, dan 6 orang mengoperasikan ATBM. Orang-orang itu merupakan masyarakat sekitar Sibang Kaja. Sehingga dengan adanya budidaya ulat sutera itu, diharapkan dapat memajukan wilayah Sibang Kaja dengan adanya atraksi kegiatan budidaya ulat sutra.(citta maya/balipost)