DENPASAR, BALIPOST.com – Pengusaha restoran kelas atas dituding jarang mau menggunakan komoditi pertanian lokal. Mereka lebih memilih mengimpor produk untuk memenuhi kebutuhannya.

Namun tudingan itu dibantah salah satu chef yang sudah puluhan tahun hidup di Bali. Chris Salans, pemilik Mosaic dan Spice by Chris Salans, mengatakan restoran bukannya tidak mau menggunakan komoditi lokal. Hanya saja ketersediaan produk dengan kualitas bagus jarang bisa diperoleh.

Chris Salans, Sabtu (9/9) mengutarakan pengalamannya saat akan membeli komoditi lokal untuk bahan makanannya. Ditemui saat Sanur Goes Organic yang diselenggarakan Spice by Chris Salans, ia mengatakan ketika bekerja di hotel dan membutuhkan tomat, ia tidak pernah menemukan tomat yang berwarna merah, manis dan lembek.

Ia hanya mendapatkan tomat yang berwarna setengah hijau dan kuning. “Saya datang ke petani menanyakan dimana tomat merah? Menurut petani tomat merah itu sudah busuk,” tuturnya.

Dalam membuat masakan yang enak, Chris membutuhkan bahan yang matang dari pohon. Namun ia baru menyadari bahwa buah yang matang di pohon akan membuat petani rugi.

Baca juga:  Ini Yang Dilakukan Polres Jembrana Antisipasi Warga Nekat Mudik

Sebab, bahan baku dari petani akan diangkut ke truk lalu ke supplier, baru kemudian ke pasar. Kondisi ini akan membuat komoditi akan rusak saat tiba di pasar. Rantai yang panjang tersebut memaksa petani memanen hasil pertanian lebih awal sehingga ketika tiba di pasar tetap segar. “Kalau itu masuk ke truk, dibawa ke pasar butuh waktu selama 5-6 hari dan itu menyebabkan cepat busuk,” ujarnya.

Selain karena tidak menemukan kualitas yang bagus, Chris juga membutuhkan kuantitas bahan baku dalam jumlah besar, yang tidak bisa dipenuhi oleh petani lokal. Terkadang karena faktor musiman, masalah penyimpanan (pendinginan), membuat produk yang diinginkannya tidak tersedia. “Jadi ini bukan masalah bibit atau apa, cuma orangnya petik mentah biar tidak busuk itu berbanding terbalik dengan kebutuhan kami,” pungkasnya.

Chef Pertama

Chris yang sudah 20 tahun tinggal di Bali itu terkenal membuat masakan dengan bahan baku dari Indonesia. “Saya chef pertama yang pakai produk lokal. Saya datang ke Bali pertama tahun 1995. Sebelum itu semua hotel, impor barang. Saya yang pertama ke pasar, waktu itu saya ke Pasar Kedonganan beli ikan langsung,” tuturnya.

Baca juga:  Habiskan Anggaran Rp 2,5 M, Begini Kondisi Jalan di Bukit Abah

Namun diakui, untuk Spice, 100 persen produk yang digunakan adalah produk lokal. Maka dari itu sebagai bentuk apresiasinya kepada petani lokal, ia mengadakan farmers market dengan tema Sanur Goes Organic. “Saya banyak untung dari Bali dan karena petani. Dan sekarang saya mau mengembalikan dan berbagi kepada petani,” ujarnya.

Sedangkan di Restaurant Mozaic, 60 persen bahan bakunya impor. Alhasil harganya menjadi lebih mahal.

Ia mengaku di kedua restoranya tersebut ia berusaha membuat rasa masakan sama, namun dengan bahan baku yang berbeda. “Jadi saya kasih tahu chef-chef saya, kita tidak bisa impor. Mentega harus diganti dengan minyak kelapa, daging harus pakai daging lokal. Di sini di Spice semua bahan lokal, tidak ada impor dan harganya di bawah Rp 200.000,” pungkasnya.

Melalui event yang dilaksanakan setiap Sabtu dari pukul 09.00 sampai 16.00 itu, pihaknya ingin mengajarkan masyarakat tentang makanan organik. “Kenapa lebih sehat makanan organik, apakah organik lebih mahal atau tidak dan cara mengolahnya seperti apa,” bebernya.

Baca juga:  Tinggal di Kawasan Batur, Warga Harus Pahami Risiko Bahaya Geologinya

Sehingga di farmers market tersebut, tidak hanya menjual produk organik tapi juga ada demo memasak, dan testing session. Semua bahan yang digunakan di dapurnya menggunakan bahan dari petani langsung yang sudah bekerjasama dengannya selama 16 tahun.

Petani tersebut datang dari Kintamani, Bedugul, Munduk, Jawa, dan lainnya. “Jadi kita tidak ada perantara, kita bukan retail, supplier. Ini langsung dari petani sehingga lebih segar, lebih murah di bawah harga pasar, lebih sehat, dan lezat,” tandanya.

Ia memulai Farmers Market ini dari Sanur karena di Sanur ia merasa lebih banyak keluarga dan lebih dekat dengan Renon serta Denpasar. “Jadi orang yang belanja dan masak di rumah. Kalau di Nusa Dua, Ubud lebih ke pariwisata jadi orang tinggal di hotel tidak mungkin akan beli sayur untuk bawa pulang,” imbuhnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *