JAKARTA, BALIPOST.com – Untuk meningkatkan akses koperasi dan UMKM ke lembaga pembiayaan bank dan nonbank, Kementerian Koperasi dan UKM akan melakukan terobosan dengan mereformulasi kebijakan pembiayaan. “Intinya, kita akan terus memperkuat barisan dalam meningkatkan akses KUMKM ke pembiayaan yang mudah dan sesuai karakteristik dari KUMKM. Dimana ada sekitar 12 ribu sentra-sentra UKM yang menjadi sasaran akhir dari reformulasi menu-menu pembiayaan yang ada”, tegas Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Yuana Sutyowati, saat membuka acara workshop bertema Reformulasi dan Penguatan Kebijakan Pembiayaan Bagi Koperasi dan UKM di Jakarta, Selasa (12/9).
Yuana menyebutkan bahwa Kemenkop dan UKM dan LPDB akan mendesain menu-menu pembiayaan agar bisa melibatkan dan dinikmati lebih banyak KSP/KSPPS di seluruh Indonesia. “Kita memiliki LPDB KUMKM yang diharapkan bisa lebih bersinergi dalam transformasi program untuk memperkuat permodalan KSP dan KSPPS”, imbuh Yuana.
Yuana mengakui, latar belakang workshop ini untuk mengakomodasi berbagai masukan dan keluhan dari KSP dan pembiayaan syariah (KSPPS/KBMT) terkait optimalisasi penyaluran dana bergulir LPDB KUMKM. “Untuk itu, kita perlu diskusi dengan para pelaku juga pakar untuk kemudahan akses pembiayaan KSP/KSPPS yang selama ini dianggap persyaratan cukup berat untuk mendapatkan pembiayaan. Sehingga, sedikit KSP/KSPPS yang memperoleh akses, serta proses layanan yang sering tidak sesuai dengan SOP”, jelas Yuana lagi.
Selain itu, lanjut Yuana, yang kini menjadi isu aktual di kalangan gerakan koperasi adalah program kredit Ultra Mikro atau UMi yang mulai digulirkan pada 2017 ini. Plafon dana yang disalurkan sebesar Rp1,5 triliun (APBNP 2017) dan Rp 2,5 triliun (RAPBN 2018), dengan alokasi per UMi maksimal Rp10 juta. “Sebagaimana program KUR, program ini dikhawatirkan kurang mengakomodasi dan melibatkan KSP, KSPPS, dan KBMT yang sudah beroperasi cukup lama. Juga perlu sosialisasi yang masif sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran informasi, antara lain banyak gerakan koperasi yang beranggapan bahwa program tersebut dilaksanakan oleh Kemenkop UKM”, kata Yuana.
Di samping itu, Yuana menambahkan, pihaknya juga akan mendorong LPDB KUMKM menjadi penyedia pendanaan APEX (pengayom) dan selanjutnya sebagai APEX kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi. Sedangkan sekunder yang sudah melaksanakan fungsi APEX dapat menjadi penyalur kredit UMi dengan penyesuaian bunga/margin minimal sama dengan LPDB KUMKM. “APEX bertujuan untuk memperkuat kapasitas internal KSP atau pembiayaan syariah dan membangun sinergi dengan lembaga lain, serta meningkatkan efektifitas pengawasan. Manfaat APEX bagi koperasi antara lain pengelaan risiko yang lebih baik, terutama dalam pengelolaan risiko likuiditas”, tandas Yuana.
Dalam kesempatan yang sama, salah satu pembicara dari pegiat keuangan mikro bernama Supriyono menyebutkan bahwa kalangan koperasi sepakat agar LPDB KUMKM direformulasi. Dari sisi kebijakan, pertama, idealnya kontrak kerja LPDB dilakukan dengan Kemenkeu dan Kemenkop dan UKM (sebagai kementerian teknis). Kedua, korelasi antara pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang dilakukan Kemenkop dengan kegiatan LPDB tidak sepenuhnya sinkron.
“Misalnya, jika banyak koperasi yang tidak bisa dibiayai LPDB, pembinaan apa yang dilakukan Kemenkop dan UKM agar layak dibiayai LPDB. Mengapa setiap tahun banyak koperasi yang mengantri hingga berbulan-bulan tidak terlayani LPDB”, papar Supriyono.
Supriyono menandaskan, LPDB perlu berpihak kepada koperasi ketimbang ke BPR. Saat ini, lebih dari 40 bank umum berebut membiayai BPR. Kehadiran LPDB berebut membiayai BPR justru merusak pasar, karena BPR tidak disubsidi pun tetap bisa hidup dan tumbuh. “Target penyaluran ke mitra sektor riil non koperasi pada 2016 sebesar Rp400 miliar atau 40%. Di tengah tahun direvisi menjadi Rp700 miliar atau 70%. Realisasinya, penyaluran kepada bank dan pembiayaan modal ventura saja sebesar Rp976 miliar atau 77,95%”, jelas Supriyono.
Selain itu, lanjut Supriyono, bimbingan teknis Kemenkop dan UKM belum menjawab realitas yang dihadapi LPDB. Dalam arti, mengapa masih banyak mitra yang ditolak? Walhasil, target penyaluran ke mitra non koperasi dinaikkan menjadi 60%, dimana 45% untuk LKB/LKBB yang notabene bukan binaan Kemenkop UKM, karena secara pragmatis lebih mudah.
“LPDB harus lebih transparan. Misalnya, terkait persyaratan pembiayaan, apakah semua mitra diwajibkan menyerahkan jaminan fixed asset? Pertanyaan lain, dasar permintaan jaminan fixed asset adalah rekomendasi dari BPK? Persyaratan jaminan tidak dicantumkan pada website, dan media publik lainnya. Apakah rekomendasi BPK untuk meminta fixed asset hanya berlaku bagi koperasi? Apakah persyaratan bagi KSP/KSPPS dengan BPR sama?”, tanya Supriyono lagi.
Menanggapi hal itu, Direktur Pembiayaan Syariah LPDB KUMKM Jaenal Aripin menegaskan bahwa pihaknya tetap fokus dan memprioritaskan membiayai koperasi yang memenuhi segala persyaratan LPDB. “Kalau kita membiayai juga BPR atau BPRS itu juga ada aturan hukumnya sebagai dasar yaitu Peraturan Menteri Keuangan. Jangan melihat BPR-nya, tapi ujungnya adalah pelaku UMKM yang menikmati kredit dana bergulir itu. Lembaga Keuangan Bank (LKB) termasuk BPR itu sebagai lembaga perantara dari LPDB ke UMKM. Bahkan, kita mematok suku bunga kredit dari BPR tidak boleh lebih dari 17%”, pungkas Jaenal. (Nikson/balipost)