AMLAPURA, BALIPOST.com – Ketika akan meletus Tahun 1963 lalu, Gunung Agung menunjukkan peningkatan aktivitas yang sangat signifikan seperti gempa bumi yang dapat dirasakan oleh penduduk setempat. Meski sejauh ini tanda-tanda seperti itu belum terlihat, pihak Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) telah meningkatkan status gunung tertinggi di Bali itu dari level normal ke level waspada. Aktivitas vulkanik sangat kecil dan hanya terpantau oleh seismograf.
Kamis (14/9) pagi, status Gunung Agung masih di level 1 atau normal. Peningkatan status diterbitkan Badan Geologi sekitar pukul 14.00. Di Karangasem, siaran pers Badan Geologi itu diinformasikan ke publik olah Badan Penangggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karangasem.
Dalam siaran pers tersebut, Badan Geologi memang merekomendasikan masyarakat di sekitar Gunung Agung termasuk pendaki dan wisatawan untuk tidak beraktivitas, tidak melakukan pendakian dan tidak berkemah dalam area kawah dan di seluruh area dalam radius 3 kilometer dari puncak gunung. Namun demikian masyarakat diharapkan tetap tenang namun tetap menjaga kewaspadaan dan tidak terpancing isu-isu tentang erupsi yang tidak jelas sumbernya.
Penegasan dari Badan Geologi tersebut memang sangat mendasar karena sejak beredarnya video aktivitas di kawah Gunung Agung telah memunculkan beragam isu yang mengarah ke berita bohong (hoax). Bahkan ada isu yang menyebutkan gunung yang tingginya mencapai 2.920 sampai 3.014 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu dalam kondisi awas.
Kepala Pelaksana BPBD Karangasem, IB Ketut Arimbawa, memastikan isu status awas itu hanya hoax. Menurut dia, informasi terakhir Gunung Agung berstatus waspada.
Untuk perkembangan selanjutnya, BPBD terus berkoordinasi dengan instansi tertkait. “Kalau satus awas itu sudah meletus dan masyarakat sudah harus mengungsi semua,’’ tegasnya usai berkoordinasi langsung ke Pos Pengamatan Rendang bersama Koordinator Pos SAR Karangasem, Wayan Suwena dan Kapolsek Rendang, Kompol I Nengah Brata.
Gunung Agung sendiri merupakan gunung vulkanik tipe monoconic strato dengan tipe letusan eksplosif. Berdasarkan catatan sejarah, Gunung Agung terakhir meletus tahun 1963 yang diawali dengan gempa ringan 16 pada 16 Februari 1963.
Gempa itu terasa sampai kira-kira enam kilometer dari puncak yang kemudian disusul dengan gempa-gempa yang berskala lebih besar. Erupsi terjadi hampir satu tahun sampai Januari 1964 dengan puncak erupsi terjadi pada 17 Maret 1963.
Untuk kondisi terakhir saat ini, gejala awal seperti itu belum terasa. Masyarakat setempat juga masih tenang dan beraktivitas seperti biasa. Kegiatan pendakian juga berjalan seperti biasa, para pendaki bahkan seolah mengabaikan rekomendasi untuk tidak melakukan pendakian sampai di radius 3 kilometer.
Siaran pers Badan Geologi yang ditandatangani Kasbani, menyatakan, tingkat kegempaan mengalami peningkatan yang mengindikasikan ada proses peretakan batuan dalam tubuh gunung. “Aktivitas gempa tektonik lokal terekam secara konsisten sejak 26 Agustus lalu,” demikian siaran pers tersebut.
Sejauh ini belum ada ancaman erupsi. Namun jika itu terjadi, potensi bahaya ada di lereng utara, tenggara dan selatan.
Siaran pers tersebut masih disikapi santai warga termasuk para pemandu pendakian lokal. “Kita belum dapat info resmi. Tapi pada dasarnya sejauh ini masih landai. Belum ada kekhawatiran apa apa,” kata Perbekel Desa Amerta Bhuana, Selat, Wayan Suara Arsana.
Pria yang juga Humas Pura Pasar Agung, Sebudi, Selat itu juga sempat mengomentari video yang menggambarkan situasi kawah dan sempat viral di media sosial. Dia memastikan video bukan diambil oleh pemandu pendakian lokal bernama Widiasa dari Banjar Sogra, Desa Sebudi, Selat. Video diambil beberapa saat setelah hujan lebat di puncak. (kmb/balipost)