GIANYAR, BALIPOST.com – Climate Change atau perubahan iklim menjadi topik hangat pada workshop hari keempat, kamis (14/9) peserta ICNT di Wana Ubud Hotel, di Desa Nyuh Kuning, Kecamatan Ubud Gianyar. Masalah pemanasan global dan kerusakan lingkungan bukan lagi masalah sebuah negara, tapi sudah menjadi masalah masyarakat dunia.
Namun sebelum workshop, peserta diberi kesempatan jalan-jalan di seputaran Desa Nyuh Kuning. Mereka diperkenankan mengunjungi beberapa rumah penduduk untuk mengenal budaya dan adat istiadat setempat. Para tamu dari berbagai negara ini diperkenalkan apa itu fungsi merajan atau sanggah bagi umat Hindhu di Bali, fungsi dapur hingga ke candi bentar. Bagi Umat Hndhu semua tempat memiliki makna dan fungsinya tersendiri sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.
Sementara workshop sendiri berlangsung cukup seru, dengan pembicara Justin Albert, Simon Moles Worth, Robin Yarrow, Cathy Chids, Hasim Djojohadikusumo. Sedangkan dari unsur pemerintah hadir Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Ir. Wiratno,M.Sc.
Dihadapan para delegasi berbagai negara tersebut, kata Ir. Wiratno Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Salah satu adalah yang sudah dilakukan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca, kemudian pemanfaatan jasa karbon hutan dikawasan hutan konservasi. Dimasing-masing daerah rawan dilakukan penanam atau pengayaan tanaman endemik, percepatan proses mekanisme alam. Ini semua dilakukan karena Indonesia merupakan salah satu paru-paru dunia.
Sementara itu menurut salah satu peserta workshop pemerhati masalah lingkungan Ir. I.A Rusmarini mengatakan, masyarakat Bali sudah dari zaman dahulu sudah mengenal dengan apa itu pelestarian alam. Kita sangat menghormati alam dan segala isinya. Melalui tradisi tumpek landep maupun tumpek uduh, yang merupakan wujud nyata bagaimana masyarakat Bali itu menghormati dan menjaga alam berserta isinya.
Bahkan menurut pemilik Puri Damai Br.Tunon Desa Singakerta Ubud ini, Bali secara umum tidak terlalu terpengaruh dengan dampak global warming. Hal ini karena kawasan hutan masih terjaga dengan baik dengan baik, banyak kawasan hijau. Dan yang lebih penting lagi dan mungkin juga bisa ditiru oleh para peserta delegasi ICNT, ada beberapa hutan di Bali yang masih terjaga di Bali dengan kekuatan tradisi dan kepercayaan yang ada.
Malam sebelumnya para delegasi mengikuti jamuan makan di Puri Gianyar, Rabu (13/9) malam. Disambut Bupati Gianyar, Anak Agung Gde Agung Bharata, sebelum memasuki areal utama puri, mereka mengikuti suatu ritual adat Natab Segehan Agung. Ritual sebelum memasuki puri ini dimaksudkan agar aura negatif yang mengiringi para peserta tidak ikut memasuki puri.
Para peserta yang notabene adalah orang asing terlihat antusias mengikuti ritual tersebut. Sambil mengikuti ritual natab segehan agung, para peserta mendengarkan penjelasan tentang sejarah Puri Gianyar yang disampaikan oleh ketua Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Catrini Pratihari Kubontubuh. Suasana sakral terasa dengan kepulan asap menyan dari pasepan di depan para peserta. Ritual penyambutan diakhiri dengan Bupati Agung Bharata dan para peserta melangkahi sesajen/segehan. Setelah itu, peserta disuguhi tarian Sapa Agung yang menunjukkan keklasikan melalui kostumnya.
Dipilihnya Puri Gianyar sebagai tempat mengadakan jamuan makan malam bagi peserta ICNT, selain karena merupakan kediaman Kepala Pemerintah Kabupaten Gianyar Bupati Agung Bharata, juga karena sejarahnya. Dan negara-negara peserta konferensi internasional ini adalah negara yang perduli pelestarian warisan budaya, sehingga Puri Gianyar merupakan pilihan tepat untuk jamuan makan malam. Para delegasi dunia terlihat menikmati suasana jamuan makan malam yang bernuansa jaman kerajaan tersebut. (adv/balipost)