NEGARA, BALIPOST.com – Selain Wayang Wong Banjar Anyar, kesenian berupa alat musik tradisional yang berkembang di Desa Batuagung, Kecamatan Jembrana adalah seni Preret. Namun selama beberapa tahun terakhir alat musik dengan cara ditiup ini semakin sulit ditemui. Selain peminatnya yang sedikit, sejumlah seniman sepuh yang giat menggeluti kesenian ini telah berpulang.

Sejak puluhan tahun lamanya, bahkan konon sebelum masa perjuangan, alat musik yang mirip terompet ini sudah ada di desa tua di Jembrana ini. Sayangnya, seiring berkembangnya jaman, Preret mulai meredup dan ditinggalkan oleh generasi muda.

Berbeda dengan alat musik lainnya, dalam meniup suling Preret ini memang harus memiliki stamina yang kuat dan selalu rutin berlatih. Dengan suara khas yang mendayu-dayu alat musik tiup ini berbeda karakteristik dengan seruling atau terompet.

Baca juga:  Karangasem Ajukan Empat Kebudayaan Jadi Warisan Tak Benda

Sejumlah seniman yang ditemui beberapa waktu lalu, tidak diketahui pasti kapan alat music tradisional itu mulai muncul. Namun, preret mulai jaya sekitar tahun 1950-an.Berkembang kemudian  setelah tahun 1965. Di masa pemerintahan Bupati Jembrana Ida Bagus Indugosa tahun 1990-2000, kesenian Preret ini diwadahi oleh pemerintah dengan membangkitkan membuat sejumlah sekeha. Tercatat ada belasan sekaha Preret, namun sebagian besar didominasi oleh kalangan tua.

Keunikan Preret terletak pada bunyi dan bentuknya yang mirip terompet namun dengan nada yang berbeda. Suaranya pun terdengar magis dan menyayat hati. Bahkan menurut cerita para orang tua, alunan Preret bisa dipakai untuk memikat hati para wanita. Konon, ketika para pemuda ingin memikat perempuan di seberang jalan, cukup dengan meniupkan preret dari pelataran rumah mereka bisa memikat lawan jenis. Bahkan mendatangi atau mencari (tertarik) asal suara preret tersebut.

Baca juga:  Impor Psikotropika, Turis Inggris Dituntut 2,5 Tahun

Alunan preret yang cukup keras walaupun tanpa pengeras suara, terdengar sayup-sayup sampai satu kilometer. Alunan musik ini, biasanya dibunyikan di tempat-tempat yang lebih tinggi, semisal dari atas pohon.

Dilihat dari fisik bentuk alat musik etnik ini, mirip terompet, terbuat dari bambu-bambu kecil yang disambung dengan ukuran tak sama. Di bagian tubuh bambu memiliki tujuh lubang dengan suara khas yang menyayat hati. Didalam tubuh preret itu juga terdapat unsur besi berbentuk seperti bel mobil. Saat berjaya dulu, alat musik ini sempat digunakan untuk menyambut tamu wisatawan mancanegara di hotel-hotel.

Alunan tembang yang timbul masih dirindukan kalangan masyarakat. Dari penelusuran, dari belasan Sekaha yang berkembang tahun 1990-an lalu kini nyaris tidak ada. Terakhir ada satu sekaa saja yakni Sekaa Preret Swara Wana Gita Batuagung yang dikembangkan oleh Alm. Ida Bagus Kade Tama asal Banjar Petanahan.

Baca juga:  Terbakar, Bale Sari Milik Warga Batuagung

Namun Tama kini sudah berpulang, begitu pula seniman lainnya yang sudah mendahului seperti Almarhum Dewa Aji Dandra. Sehingga saat ini sangat sulit mendengar lantunan alat musik khas Jembrana ini.

Tembang yang dilantunkan dari Preret, lebih banyak lagu Sewagati, yang bertema romantisme pengorbanan terhadap seorang wanita. Tembang-tembang lain seperti ginada dan jaya prana juga biasa dilantunkan.

Selain bisa dimanainkan solo (tunggal), preret juga bisa berkolaborasi dengan  alat-alat musik lainnya seperti kendang atau  perkusi lainnya. Preret pun cocok dilantunkan dengan alat musik rebana. (Surya Dharma/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *