SEMARAPURA, BALIPOST.com – Erupsi Gunung Agung masih belum terjadi meskipun status Awas sudah diberlakukan sejak Jumat (23/9) malam. Pengungsi yang ada di sejumlah titik pengungsian makin gelisah karena menunggu tanpa kepastian.
Di lapangan sudah beredar beragam isu terkait aktivitas gunung tertinggi di Bali ini. Bahkan menanggapi memanasnya isu yang beredar ini, pada Minggu (24/9), Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kasbani, memberikan tanggapannya. Lewat rilisnya, ia mengutarakan PVMBG tidak dapat memastikan kebenaran terkait ramalan erupsi Gunung Agung yang beredar luas di media sosial (medsos) tersebut. Pasalnya, ramalan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh PVMBG dalam memahami aktivitas gunungapi.
Dikatakan PVMBG melihat tanda-tanda aktivitas gunungapi melalui pengamatan secara menerus (24 jam/hari) secara visual maupun instrumental. Analisis terakhir PVMBG mengindikasikan bahwa energi kegempaan vulkanik Gunungapi Agung terus meningkat dan memiliki potensi untuk meletus.
Namun demikian, baik PVMBG maupun seluruh ahli gunungapi di dunia yang mempelajari aktivitas gunungapi secara ilmiah, belum ada satu pun yang mampu memastikan kapan letusan akan terjadi.
Sementara itu, berdasarkan pengalaman erupsi Gunung Agung pada 1963, awal erupsi ditandai dengan hujan deras. Mangku Gina, salah satu pengungsi yang pernah mengalami musibah erupsi Gunung Agung mengatakan, pada saat itu, sebelum Gunung Agung erupsi, hujan deras turun selama 6 hari. Kemudian ada asap dari kawah Gunung Agung yang keluar secara kontinyu pada dua hari sebelum gunung itu meletus. “Setelah itu linus (angin puting beliung, red) akan terjadi. Baru kemudian ada letusan,” sebut pria yang ditemui di pengungsian GOR Swecapura itu, Senin (25/9).
Ia mengaku karena erupsi Gunung Agung tersebut, orangtua dan saudaranya menjadi korban. Daerah yang paling terdampak erupsi disebutnya daerah Muncan.
Kini, setelah dirinya sudah tua dan renta, pengalaman erupsi harus kembali dialaminya. Pria yang berjalan dengan bantuan tongkat ini pun tak mau ikut dengan anak-anaknya dan memilih hidup di pengungsian. Alasannya, dirinya sudah tua dan khawatir akan menyusahkan anak-anaknya. (Diah Dewi/balipost)