SINGARAJA, BALIPOST.com – Setelah menjalani operasi ceasar di RSUD Buleleng, bayi buah pasangan Wayan Tangkih dan Wayan Gunung, warga Dusun Bonyoh, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem kondisinya stabil.
Sekarang, bayi laki-laki yang diberi nama Ketut Agung Giri Pramata itu bersama orangtuanya menempati Rumah Tunggu Kelahiran (RTK) milik Dinas Kesehatan (Diskes) Buleleng di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula.
Tangkih melahirkan anak keempatnya melalui operasi cesar pada Minggu (24/9) lalu sekitar pukul 11.01 wita. Tiga hari kemudian tepatnya Selasa (26/9), Tangkih dan bayinya diperbolehkan keluar rumah sakit. Lantaran kondisi ibu dan bayi yang tidak memungkinkan tinggal di posko pengungsian, sehingga untuk sementara bayi tersebut dititipkan di RTK di Jalan Tekukur, Kelurahan Kaliuntu, Singaraja.
Di tempat ini, bayi bersama ibunya dirawat oleh bidan Sang Ayu Putu Krisna Lestari. Selama dirawat di RTK Tekukur, kondisi bayi dan ibunya dalam kondisi sehat dan bayinya sendiri menunjukkan pertumbuhan normal. Selama di RTK ini, orangtuanya bersama kerabatnya kemudian memberikan nama bayi tersebut Ketut Agung Giri Pratama.
Inspirasi nama tersebut dipilih karena persis pada hari kelahirannya status Gunung Agung menunjukkan tanda-tanda akan meletus. Di samping itu, nama tersebut dipilih untuk mengenang kelahiran putra keempatnya itu di tengah gelombang pengungsi yang terus bertambah banyak.
Wayan Tangkih ditemani suaminya Wayan Gunung sesaat sebelum dibrangkatkan ke RTK Tejakula menceritakan, selama perawatan di rumah sakit hingga difasilitasi tinggal di RTK milik Pemkab Buleleng itu dirinya mendapat perlakuan baik. Bahkan, dia mengaku tidak mengeluarkan biaya saat menjalani operasi hingga biaya perawatan bayinya setelah operasi.
Bahkan, perhatian yang tidak akan dilupakan itu adalah pelayanan pemerintah yang menyiapkan tempat nyaman untuk bayinya selama situasi Gunung Agung yang tinggal menunggu waktu meletus. “Saya sangat dibantu dan semua biaya gratis dan sekarang saya diberikan rumah tinggal sementara sampai situasi di Karangasem membaik,” katanya.
Ditanya soal upacara kelahiran, Tangkih mengaku belum memikirkan kapan bisa menggelar upacara secara tradsi Hindu yang berlaku di kampunggnya di Desa Ban. Ritual yang bisa dilakukan untuk kelahiran bayi di desanya tergolong banyak dan membutuhkan persiapan waktu lama. Dia menyebut upacara yang pertama dilakukan setelah tali pusar sang bayi putus. Setelah itu, akan ada upacara lagi hingga hari tiga bulanan yang dimana upacaranya jauh lebih besar dibandingkan upacara yang sebelumnya.
Karena dirinya masih mengungsi, sehingga rentetan upacara niskala untuk bayi Ketut Agung Giri Pratama akan dilakukan setelah pemerintah menyatakan situasi Gunung Agung aman dan diizinkan untuk kembali ke kampung halamannya. “Ari-ari sudah ditanam di kampung dan untuk upacara lain masih menunggu biar situasi di desa aman. Kalau di upacara di pengungsian juga tidak mungkin karena tidak ada persiapan, makanya saya tunggu sampai suasana benar-benar aman dan kembali ke kampung,” tegasnya.
Sementara Kepala Seksi (Kasi) Kesehatan Masyarakat dan Gizi Putu Witari seizin Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) dr. I Gst Nyoman Mahapramana mengatakan, keputusan menitipkan bayi dan ibunya di RTK Tejakula karena pertimbangan kesehatan lingkungan jika tinggal di posko pengungsian.
Kondisi pengungsian panas dan berdebu sangat berpotensi menganggu kesehatan sang bayi dan ibunya yang sedang menyusui. Untuk itu, penitipan di RTK itu solusi terbaik dan telah disetujui oleh kedua orangtu sang bayi. “Untuk bayi dan orangtuanya bersedia tinggal di RTK selama masa bencana Gunung Agung. Nanti kondsinya akan dipantau oleh bidan yang ditugaskan di sana. Situasinya jga lebih nyaman dibandingkan tinggal di tenda posko pengungsian,” jelasnya. (mudiarta/balipost)