JAKARTA, BALIPOST.com – Ketua MPR RI Zulkfli Hasan mengatakan kebebasan dan keterbukaan di era reformasi telah memberi dampak luas dalam kehidupan masyarakat, termasuk kepada keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena itu, ia meminta agar keterbukaan dan kebebasan di era reformasi tidak disalahgunakan dan dianggap berlebihan oleh pihak yang berupaya membangkitkan ajaran PKI.
“Di era reformasi sudah tidak ada batas lagi. Siapa saja boleh menjadi anggota DPR. Yang dulu tidak boleh sekarang boleh. Yang dulu disensus sekarang tidak lagi. Nah, keterbukaan seperti ini mungkin dianggap berlebihan oleh sebagian pihak, dan itu yang mungkin dimaknai sebagai kebangkitan PKI,” kata Zulkifli Hasan pada Sarasehan Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DAN PIM) dengan tema ‘Pancasila, Komunisme, dan Pengkhianatan terhadap Negara’ di Jakarta, Jumat (29/9).
Dia mengakui tiap kali menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila (HKP) isu tentang kebangkitan PKI atau isu-isu terkait ideologi atau ajaran PKI kerap muncul. Padahal, konstitusi jelas menyatakan bahwa tidak ada tempat lagi bagi PKI. “Pancasila tegas menolak paham anti-Tuhan,” katanya.
Selain itu, Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, tegas menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Juga berisi larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Tap itu belum dicabut alias masih berlaku. “Tap MPR XXV Tahun 1966 itu melarang PKI dan ajarannya. Kenapa sekarang ramai lagi,” katanya.
Tahun ini, perdebatan tentang PKI terkait persoalan boleh atau tidaknya nonton bareng (nobar) film G30S/PKI yang dilontarkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo di satuan-satuannya menjadi isu yang dikembangkan diributkan. Ada yang mengecam tapi ada pula yang mendukung. “Masa kita bertengkar gara-gara nobar film G30S/PKI,” sindirnya.
Menurut Zulkifli, dirinya termasuk sebagai pihak yang mendukung Nobar film G30S/PKI karena penting untuk pembelajaran masyarakat dan generasi muda bangsa bahwa Indonesia pernah mengalami sejarah kelam. “Kalau ada yang mau nonton silakan. Yang tidak mau nonton juga silakan. Jangan diributkan,” kata Zulikifli.
Menurutnya, ada hal yang lebih penting untuk didebatkan yaitu prestasi olahraga Indonesia yang memburuk saat mengikuti SEA Games di Kuala Lumpur, Malaysia. Juga mengenai persoalan kesejahteraan, keadilaan di masyarakat yang belum sepenuhnya merata. “Itu lebih penting daripada ribut soal nonton film PKI,” katanya.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengakui ada beragam versi mengenai pemberontakan dan upaya kudeta yang dilakukan PKI atau yang dikenal sebagai Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI). “Beragam versi dikembangkan. Fakta sesunguhnya PKI berusaha berontak lagi. Di sisi lain seolah-olah PKI itu ingin dianggap sebagai korban. Padahal masalah PKI sebenarnya hanya satu. Yaitu kudeta PKI mereka yang gagal,” tegasnya.
Oleh karena itu, persoalan PKI sebenarnya sudah selesai. Anak cucu keturunan PKI yang memposisikan sebagai korban sesungguhnya sudah diterima dengan baik, bahkan ada yang menjadi anggota DPR.
Dulu ada upaya mengakomodasi keinginan para keturunan PKI melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) namun ternyata tidak juga memberi jawaban pasti dari para keturunan PKI ini. “Kalau ada keinginan rekonsilasi, ya… yang alamiah sajalah. Tidak usah ungkit-ungkit dengan versi masing-masing. Apalagi aktor-aktornya masih ada. Seperti dorongan minta maaf dari pemerintah kepada orang-orang PKI. Ini kan merepotkan. Karena ada yang merasa dizolimi dan sebagainya. Yang pasti hak-hak setiap negara itu dijamin undang-undang. Itu saja,” tegas Wakil Ketua umum Partai Geridnra ini.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan sejak Tahun 2015 ia meneliti tentang keberadaan Pancasila. Terutama terkait mengapa seolah banyak diabaikan sejumlah kalangan termasuk generasi muda, juga meneliti mengapa komunisme sebagi paham mulai digandrungi.
Kecenderungan penghormatan kepada negara juga mulai tergerus. Kemudian dampak sosialnya, ada kesan diantara sesama anak bangsa terjadi perbedaan pandangan tentang tu siapa mengancam dan siapa terancam. Juga siapa yang toleran, dan siapa yang intoleran. “Jadi seolah tampak kita ini berjalan ke arah tidak pasti. Baik politik, hukum juga ekonomi. Yang jelas kita ini sebenarnya punya masalah bersama yaitu kesenjangan sosial dan ekonomi. Ketika itu sudah menganga. Maka muncul ketidakpuasan tadi. Saya lihat ketidakpuasan makin akumulatif. Apa yang salah? Ternyata persoalannya pada negeri ini telah salah urus,” katanya.
Oleh karena itu, solusinya adalah jangan basa-basi. “Isu ketidakadilan itu karena kurangnya penegakan hukum. Jadi negara harus hadir, diberikan solusi konkrit. Misalnya melalui kebijakan dan payung hukum yang membuat masyarakat merasa bahwa negara hadir melindungi mereka,” katanya. (Hardianto/balipost)