Satpol PP Badung saat melakukan penyegelan sebuah usaha yang melanggar aturan. (BP/dok)
MANGUPURA, BALIPOST.com – Penyegelan tujuh kafe di wilayah Desa Mengwitani, Mengwi, akhirnya dilakukan oleh tim gabungan, Rabu (4/10). Tim gabungan yang terdiri dari Satpol PP, Kejaksaan, Kepolisian, Desa Adat Setempat, dan Linmas menjalankan instruksi bupati sekitar pukul 10.30 Wita.

Mereka berkumpul di Jalan Raya Terminal Mengwi, Badung, sebelum melakukan penyegelan. Kasatpol PP Badung, IGAK Suryanegara ditemui di lokasi, Rabu (4/10) mengatakan, penyegelan ini dilakukan atas dasar keresahan masyarakat di lingkungan Desa Adat Mengitani. “Intinya mereka tidak ingin ada kafe di wilayah Mengwitani, sehingga dilakukanlah paruman dan menghasilkan kesepakatan Desa Adat Mengwitani bebas kafe,” ujarnya.

Menurutnya, eksekusi tujuh kafe ini sesuai perintah Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta. Di mana terdapat 10 kafe remang-remang yang disegel. Usaha ini berada di kawasan dekat Terminal Mengwi sebanyak tujuh kafe dan tiga yang kecil banjar Nyuh Gading. “Yang besar-besar ada tujuh, tapi yang kecil ada tiga. kami khawatirkan nanti menjadi besar, jadi kami tutup juga hari ini,” ungkapnya.

Baca juga:  Tandatangani MoU, Aqua Mambal Bantu Pembelian Beras Sehat

Dikatakan, pihaknya telah melayangkan surat peringatan awal, karena setelah dilakukan tindak lanjut atau melayangkan Surat Peringatan (SP) I,II,III dan juga tak diindahkan, akhirnya dilakukan penyegelan. “Ini (penyegelan, red) sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Semua pemilik (kafe) agar mengikuti peraturan yang sudah diberlakukan. Termasuk, jangan membuka usaha yang atau melakukan kegiatan yang bertentangan,” terangnya.

Di sisi lain, Putu Surawan, pemilik kafe berharap jangan sampai Pemerintah maupun Desa Adat membedakan antara pemilik lokal Mengwitani diperbolehkan dan luar Mengwitani tidak diperbolehkan. “Saya tetap menghormati keputusan apa yang diambil oleh pemerintah maupun Desa Adat. Namun, jangan sampai ada yang membedakan antara lokal dan luar. Usahanya kan sama, sehingga dampaknya ya sama saja,” katanya.

Baca juga:  Delegasi ICNT Bahas Isu Perubahan Lingkungan

Dia mengakui, pihak desa belum pernah mengajak untuk berkoordinasi ataupun berkomunikasi, sebelum dilakukan eksekusi. “Kami belum sempat berkemas entah itu mengosongkan tempatnya, menginformasikan kepada puluhan orang  karyawannya, dan segala administrasi lainnya,” terangnya.

Ia menyebutkan pernah tiga kali mengajukan permohonan penangguhan, namun tidak pernah digubris oleh Desa Adat. Namun, dalam kurun waktu 18 bulan telah membayar Rp 2,5 Juta. “Selama 1,5 tahun saya bayar Rp 2,5 Juta per bulan ke salah satu yang mengaku dari pihak Desa Adat,” katanya.

Baca juga:  "Wedding Venue" di Pecatu Dikeluhkan Warga, Bising hingga Dinihari

Bendesa Adat Mengwitani, Putu Wendra membantah telah melakukan pengutan. Sebab, sesuai dengan kesepakatan pemeintah desa yang terdahulu, uang tersebut itu justru masuk ke kas desa adat namun berbentuk dana punia. “Itu bukan pungutan, dari dulu hal-hal tersebut tidak pernah terjadi di desa kami,” pungkasnya. (Parwata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *